Belakangan ini jagat media sosial sempat diramaikan oleh permasalahan wisuda bagi tingkat pendidikan TK, SD, SMP, dan SMA. Hal ini bermula dari curhatan salah seorang orang tua/wali murid yang merasa terbebani dengan penyelenggaraan wisuda.
Baca Juga:Â
Pendidikan Daendels dalam Simbol Ki Hajar Dewantara
Memang harus diakui, dalam pelaksanaan yang paling sederhana pun, gelaran wisuda untuk TK hingga SMA tetap akan memakan sejumlah biaya. Sehingga pandangan orang tua/wali murid terhadap pelaksanaan wisuda menjadi sangat subyektif berkaca pada kemampuan ekonominya.
Bagi mereka yang memiliki kemampuan secara ekonomi, mungkin pelaksanaan wisuda tidak akan menjadi masalah. Namun bagi mereka yang kondisinya terbatas, tentunya akan berpikir lebih dari satu kali terkait pelaksanaan wisuda. Belum lagi jika nantinya terdapat acara perpisahan ataupun rekreasi, sangat wajar tentunya jika hal ini menjadi suatu beban tersendiri.
Secara umum, siswa/siswi yang telah lulus akan melanjutkan ke tingkat selanjutnya. Lulusan TK akan mendaftar ke SD, lulusan SD mendaftar ke SMP dan seterusnya. Meskipun pemerintah memberikan banyak bantuan dan kemudahan untuk mendukung wajib belajar 12 tahun, namun tak dapat dipungkiri, tetap ada hal-hal yang perlu dipersiapkan orang tua menjelang pendaftaran sekolah anak.
Seperti tas, buku, sepatu, maupun berbagai alat penunjang lain yang semuanya ini membutuhkan biaya. Bila orang tua/wali murid dapat memilih, menggunakan uangnya untuk ‘pesta 1 hari’ atau memenuhi keperluan mendatang, pasti banyak dari mereka yang memilih untuk memenuhi keperluan mendatang.
Namun jika letak permasalahannya hanya seputar keuangan, sebenarnya terdapat banyak ‘solusi. Mulai dari subsidi silang, tabungan sejak awal masuk sekolah, serta berbagai hal lain yang dapat dijadikan tawaran solusi.
Namun hal ini bukan semata-mata persoalan keuangan. Terdapat juga kelompok masyarakat yang menganggap jika wisuda dilaksanakan mulai TK justru akan mereduksi makna wisuda itu sendiri. Wisuda kerap kali diartikan ‘wis sudah’ dan dimaknai sebagai titik finis dalam menempuh pendidikan, sehingga jika wisuda menjadi ‘sangat sering’ dilakukan, selain boros biaya juga dianggap menjadikan wisuda kehilangan makna sakralnya.
Mereka yang setuju dengan pendapat ini, beranggapan jika semestinya wisuda dilaksanakan hanya untuk tingkat SMA/K sederajat dan universitas. Karena kedua tingkatan tersebut dapat dikatakan menjadi akhir bagi pendidikan.
Terlebih faktanya, memang banyak lulusan SMA/K sederajat berhenti menempuh pendidikan pada SMA/K sederajat. Sehingga dirasa wajar bila pada jenjang SMA/K juga diadakan wisuda, karena bagi sebagian siswa/i, jenjang SMA/K merupakan garis finis pendidikannya.
Masa muda para pelajar, hanya dapat dinikmati sekali seumur hidup. Waktu yang telah terlewati tidak lagi dapat diulang. Daripada wisuda yang ‘hanya’ menjadi perayaan seremonial satu hari, dan bisa jadi sangat minim kenangannya, akan lebih bermakna jika kegiatan wisuda di tingkat TK hingga SMP diubah menjadi kegiatan study tour yang dapat disesuaikan dengan tingkat pendidikan.
Misalnya jika TK, maka kegiatan study tour dapat dikemas dalam format outbond. Untuk SD dan SMP, mungkin dapat dikemas menjadi wisata edukasi sejarah. Seperti ke bangunan peninggalan sejarah maupun ke museum.
Selain kegiatan tersebut lebih bermakna positif, kegiatan semacam ini pun layak jika dijadikan opsional. Mengingat kondisi keuangan masing-masing yang berbeda. Bila ada siswa/i yang tidak dapat mengikuti agenda tersebut, kegiatan ini dapat mereka lakukan secara mandiri. Tentu ketika sudah memiliki kelonggaran biaya dan bila mereka benar-benar ingin melakukannya.
Jauh lebih masuk akal daripada melaksanakan wisuda lalu ada sebagian siswa/i yang tidak ikut, karena mereka tidak bisa wisuda seorang diri.
Pun begitu, bilamana telah diadakan program menabung untuk kegiatan tersebut. Biasanya dimulai sejak awal masuk sekolah, tak jarang ada orang tua/wali murid merasa keberatan dengan biaya yang akan dikeluarkan, sehingga anaknya tidak mengikuti kegiatan tersebut. Semestinya orang tua/wali murid diizinkan mengambil uang tabungan itu.
Karena dalam praktiknya kerap kali ditemukan, bila tabungan ditujukan untuk rekreasi atau hal semacamnya, maka yang tidak mengikuti kegiatan uangnya tidak dapat kembali alias hangus. Tentunya ini termasuk zalim, disinilah peran sekolah harus tegas menjembatani kedua belah pihak.
Kemudian dari sisi regulator, Kemendikbud harus tegas menunjukkan keberpihakannya. Apakah melarang pelaksanaan wisuda atau membolehkan. Secara aturan perundang-undangan, satuan pendidikan PAUD, pendidikan dasar dan pendidikan menengah memang dikelola oleh pemerintah daerah.
Justru karena itu, Kemendikbud harus hadir selaku regulator pusat untuk menjadi acuan secara nasional. Sehingga kalaupun Kemendikbud memperbolehkan, harus ada ketentuan yang diatur secara jelas mengenai pelaksanaan wisuda. Apa yang boleh dan tidak boleh.
Jangan sampai Kemendikbud justru gamang dalam hal ini. Sehingga pelaksana teknis pun memiliki aturan main yang jelas, dan Kemendikbud tidak terkesan ‘cuci tangan’ dengan dalih tidak mewajibkan wisuda. (bri) Baca konten lengkap lainnya di Tabloid Inspirasi Pendidikan