Bila Engkau Pulang, Mampukah Kami Menjaga?

0
Ilustrasi artefak . Foto ( Ist/IP )

Telah umum diketahui jika Indonesia pernah mengalami masa penjajahan. Selama masa penjajahan ini, bangsa Indonesia tidak hanya dirugikan atas penindasan yang dilakukan para penjajah maupun sekedar kerugian materiil. Terdapat juga perampasan atas aset-aset sejarah maupun kebudayaan bangsa Indonesia. Baik benda peninggalan bersejarah yang didapatkan dengan dalih harta rampasan perang, pemberian maupun jual beli tapi dalam konteks kolonialisme. Sehingga harta benda tersebut tidak serta merta dapat dilihat sebagai jual beli maupun pemberian biasa, karena dalam kondisi kolonial, sangat mungkin terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi.

Baca Juga :

Mendongkrak Budaya Khas Nusantara

Malang Halal sebagai Center of Halal Tourism, Bukan Halal City

Jalan Panjang Pengembalian Benda Bersejarah Indonesia

Bekali Siswa dengan Pembelajaran Berbasis Fitrah

Kagungan Sumberawan Bangkitkan Potensi Budaya dan Seni Lokal

Artefak tersebut menyimpan nilai historis bagi peradaban asal artefak. Nilai historis ini dapat berupa catatan sejarah, simbol kejayaan dan seni yang berkembang di masa itu serta jalinan hubungan dengan bangsa lain. Sebagai contoh jika di keraton/kerajaan Jawa atau pun di wilayah bekas pemukiman penduduk ditemukan keramik yang berasal dari negeri China, maka dapat menjadi bukti adanya hubungan politis maupun hubu­ngan dagang antara kerajaan/kesultanan di Jawa de­ngan kerajaan/kekaisaran di Tiongkok, serta berbagai hal yang dapat menjadi sangat penting bagi catatan sejarah peradaban tersebut.

Sehingga, terlepas dari kolonialisme yang sempat terjadi, sudah menjadi kewajiban bagi masing-masing generasi penerus peradaban untuk mencari artefak-artefak yang ‘hilang’ dan berusaha mengembalikan artefak tersebut kembali pulang. Utamanya jika peradaban tersebut benar-benar peduli akan sejarahnya.

Bila berkaca dari segi kemampuan (ekonomi, politik, ilmu pengetahuan), sering kali negara yang pernah menjajah suatu negara lebih dominan dibandingkan negara bekas koloninya. Se­hingga bila berbicara dalam konteks pengembalian artefak, harus diakui akan sangat sulit bagi negara bekas koloni untuk mendapatkan hak­nya. Namun rupanya sejak tahun 2018, terdapat upaya repatriasi atau upaya pengembalian artefak. Upaya yang diinisiasi oleh Perancis ini menjadi angin segar bagi negara-negara eks-koloni untuk mendapatkan haknya atas artefak peninggalan nenek moyangnya.

Pun begitu dengan Indonesia, terdapat ratusan ribu hingga jutaan artefak Indonesia yang tersebar di luar negeri. Baik yang dimiliki secara perorangan maupun dikelola oleh berbagai lembaga resmi seperti museum. Namun sangat disayangkan, bahkan untuk koleksi di museum, secara kepemilikan, artefak-artefak tersebut pun tidak dicatat sebagai milik Pemerintah Republik Indonesia maupun masyarakat adat di Indonesia selaku pewaris sah dari artefak tersebut.

Terkait jejak sejarah, tentunya sejarah atas artefak tersebut di­tulis berdasarkan sudut pandang bangsa asing. Hal ini menjadi suatu masalah tersendiri, utamanya dalam hal generasi penerus Indonesia mengenali perkembangan sejarah Indonesia karena tidak bisa mendapatkan sumber informasi sejarah secara utuh.Seakan menjadi durian runtuh, upaya repatriasi ini tentunya menjadi berkah bagi berbagai kalangan yang bercita-cita untuk memulangkan artefak peninggalan nenek moyang.

Namun pertanyaan mendasarnya sejauh apa kesiapan kita jika artefak-artefak tersebut nanti pulang? Bukankah banyak artefak membutuhkan pe­ngelolaan khusus demi menjaga kondisinya? Sedangkan bila kita berkaca pada artefak yang ada di Indonesia sendiri, banyak artefak yang dapat dikatakan tidak ‘terawat’ Baca konten selengkapnya di Tabloid Inspirasi Pendidikan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News