Malang, IP – Jari-jemari Mbah Kardjo terampil menganyam enam batang mendong yang panjangnya 100 jengkal jari menjadi boneka Wayang Puspa Sarira. Pertama batang mendong ia bilas dengan air agar lebih mudah untuk dilipat dan dibentuk.
Baca Juga:Â
Turun Temurun Menjaga Eksistensi Topeng Malangan
Punya Kelompok Ludruk Remaja, SMAN 1 Pagak Ingin Ludruk Tetap Lestari
Unik dan Berbeda, Manfaatkan Karung Goni Bekas Sebagai Media Lukis
Setelah itu, barulah mendong mulai dianyam menjadi Wayang Puspa Sarira yang syarat akan filosofi kehidupan. Sembari menganyam, bibir pria bernama asli Syamsul Subakri ini tak berhenti menjelaskan makna dari setiap proses pembuatan wayang.
Dimulai dari enam batang mendong yang menggambarkan enam indera manusia, yakni penglihat (pandulu), pembau (panggondo), pendengar (pangrungu), pengecap (pangecap), peraba (panggraito), perasa/qolbu (pangroso).
“Enam indera ini semua orang punya, hanya saja kalau tidak kita kenalkan maka orang tidak tahu fungsinya,” kata pengembang Wayang Puspa Sarira ini.
Lalu panjang mendong, terdiri 35 jengkal jari yang bermakna siklus hari pasaran dalam kalender Jawa, 20 jengkal jari menggambarkan aksara jawa, 9 jengkal jari menggambarkan jumlah lubang dalam tubuh manusia, 8 jengkal jari yang bermakna penjuru mata angin.
Selanjutnya 7 jengkal jari artinya tingkatan alam, 6 jengkal jari bermakna orientasi atau arah, 5 berarti Pancasila, 4 jengkal jari berarti unsur alam, 3 jengkal jari mengacu pada tri pratama (tiga yang terdepan) bagi laki-laki atau perempuan, 2 berarti berpasangan, dan 1 jengkal jari menggambarkan kepribadian atau pendirian.
“Maka panjangnya kalau ditotal menjadi 100 jengkal jari, yang berarti nilai yang sempurna,” imbuh Mbah Kardjo.
Sembari bertutur, Mbah Kardjo mengambil satu batang mendong untuk dijadikan hidung karakter wayang. Caranya dengan melipat satu batang mendong menjadi dua bagian. Proses ini menggambarkan nafas manusia yang menghirup dan mengeluarkan udara.
Kata Mbah Kardjo, hidung menggambar awal dari sebuah kehidupan. Maka hidung yang bahasa Jawanya adalah irung ia pakai sebagai akronim ‘iso wurung‘ alias bisa gagal. Jadi ketika manusia hanya menghirup udara dan tidak mengeluarkannya kembali atau sebaliknya, manusia bisa gagal hidup alias mati.
Saat diperhalus, jelas Mbah Kardjo, hidung disebut sebagai grana, angger-angger e ono. Maksudnya hidup harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak boleh asal-asalan.
Sembari sesekali membenarkan kacamata, ia meneruskan pada proses pembuatan kepala dan menjadi proses yang paling rumit. Kepala yang orang Jawa menyebutnya sirah (isine wewarah) bermakna sebagai pusat manusia menerima pesan atau informasi.
Di atas kepala, kemudian dibuatlah rambut alias rikma yang ia jabarkan sebagai katarik ing sukma. Ini mengandung pesan bahwa orang mulai memiliki rasa ketertarikan kepada lawan jenis.
“Ini akan mengajarkan etika, karena saat sudah memiliki ketertarikan kepada lawan jenis maka berhati-hatilah,” ucapnya.
Rambut wayang lantas digelung. Ia gelung karena jadi manusia ojo tegel, senengo tetulung. Artinya tidak boleh egois dan harus suka memberi pertolongan kepada sesama.
Saat gelung sudah selesai, berikutnya dibuatlah leher yang setidaknya terbentuk dari tiga atau empat simpul. Leher yang bahasa Jawa halusnya adalah jangga mengandung pesan ojo sok nonggo, ning ojo lali karo tonggo Baca konten selengkapnya di Tabloid Inspirasi Pendidikan Edisi 109