Lestarikan Budaya Lokal Melalui Lomba Permainan Tradisional

0
Antar peserta lomba permainan tradisional egrang bambu dengan semangat adu cepat capai garis finis. (Foto: Wahyu Setiawan/IP).

Malang, IP – Demi melestarikan budaya lokal, TK Mardi Rahayu, SD Kr. Brawijaya 3 dan SMP 4 YPK Jatim Malang menggelar lomba permainan tradisional, Senin (16/5/2022). Gelaran tersebut sekaligus untuk memperingati Hardiknas dan juga menyambut Hari Kebangkitan Nasional 2022.

Dalam lomba permainan tradisional ini, ketiga sekolah turut bekerja sama dengan Yayasan Pendidikan Kristen Jatim Malang, Universitas Negeri Malang (UM), SMAK Santa Maria Malang serta Mier Dessert & Patisserie.

Selain lomba, peringatan Hardiknas bertambah semarak ketika sejumlah 24 siswa dari TK Mardi Rahayu, Siswa SD Kr. Brawijaya 3 dan siswa SMP 4 YPK Jatim Malang melakukan tarian tradisional.

Seperti tarian dari Indonesia bagian Barat (Tari Piring), Indonesia Tengah (Tari Gong) dan Indonesia Timur (Tari Sajojo). Hal ini menggambarkan keberagaman budaya Indonesia. Peringatan Hardiknas juga diramaikan dengan peragaan sains, bazar dan pameran seni rupa karya siswa.

Menurut Ketua Panitia Drs AMZ Supardono, peringatan Hardiknas mengambil tema “Pimpin Pemulihan dalam Merdeka Belajar untuk Membentuk Pelajar Pancasila”. Tema ini pihaknya ambil untuk mengantisipasi dampak negatif masuknya era digital yang dapat mengalihkan pandangan anak-anak.

“Kita meninggalkan berbagai hal bernuansa nilai budaya. Ini perlu disikapi dan perlu campur tangan pendidikan untuk memberikan pandangan bahwa mengikuti perkembangan zaman memang tidak bisa dielakkan. Tetapi nilai-nilai luhur harus ditanamkan dalam jiwa generasi penerus bangsa,” imbuhnya.

Selain itu, Dono menjelaskan perlunya menghidupkan kembali permainan-permainan tradisional yang menjadi kearifan lokal budaya daerah masing-masing. Harapannya agar dapat membangkitkan persatuan, kebersamaan, kekompakan, kreativitas, kemandirian, dan kecerdasan peserta didik.

“Termasuk mengajarkan anak bersosialisasi dan saling menghargai sesama teman. Tentu ini akan menjadikan siswa lebih dewasa dalam bertindak dan berpikir,” ujar Dono kepada Inspirasi Pendidikan.

Filosofi Berbagai Permainan Tradisional

Peserta ikuti permainan engklek. (Foto: Wahyu Setiawan/IP).

Untuk jenis lomba permainan tradisional sendiri, lanjut Dono ada beberapa. Mulai dari permainan congklak atau dakon, engklek, egrang bambu, engrang tempurung kelapa, dan juga lomba bakiak. Permainan tradisional tersebut dipilih karena memiliki masing-masing memiliki filosofi yang bermakna.

Misalnya lomba permainan congklak atau dakon. Menurut Iis Yusni Ulanwati SE SPd Koordinator lomba Congklak, permainan ini memiliki filosofi dari aktivitas sehari-hari yang seseorang lakukan.

Menurut Kepala TK Mardi Rahayu ini, pada papan Congklak terdapat tujuh lubang kecil yang berhadap-hadapan dan masing-masing berisi tujuh biji Congklak. Angka 7 di sini dapat diartikan jumlah hari dalam satu minggu.

“Artinya, tiap orang mempunyai waktu yang sama dalam seminggu, yaitu tujuh hari. Kemudian, ketika biji Congklak diambil dari satu lubang, ia mengisi lubang yang lain, termasuk lubang pada lumbung (lubang besar/induk, red),” jelasnya.

Pelajaran dari fase ini, menurutnya bahwa setiap hari yang seseorang jalani akan berpengaruh hari-hari selanjutnya. Selain itu juga akan berpengaruh pada hari-hari orang lain. Artinya, apa yang seseorang lakukan hari ini akan menentukan apa yang akan terjadi pada masa depannya dan bisa jadi sangat bermakna bagi orang lain.

Ia melanjutkan, ketika biji diambil, kemudian diambil lagi, juga berarti bahwa hidup itu harus memberi dan menerima. Tidak selalu mengambil, namun juga memberi untuk keseimbangan hidup (take and give).

“Namun kita tidak diperbolehkan meletakkan biji di dalam lumbung milik lawan kita. Mengapa? Karena itu merupakan kewajiban pemiliknya untuk menghidupi dirinya sendiri,” tegas Iis.

Inti dari permainan, dalam hidup masing-masing diajarkan untuk tidak berlebih-lebihan dan saling berbagi dengan orang lain. Serta mengajarkan untuk bertanggung jawab terhadap hidup diri sendiri.

Sementara itu, Dra Endang Hari Mangesti Koordinator Lomba Engklek sekaligus Kepala Sekolah SD Kr Brawijaya 3 menyebutkan filosofi dari permainan engklek. Yaitu saat ingin mencapai kekuasaan atau cita-cita, maka seseorang harus berusaha dan gigih memperjuangkannya.

Di satu sisi, Dra Yani Hestiwiratih selaku Kepala SMP 4 YPK Jatim Malang. Egrang menjadi permainan tradisional yang memiliki filosofi tertentu mengenai keseimbangan kehidupan.

“Belajar egrang berarti belajar tentang keseimbangan. Bila dibawa ke dalam pemaknaan yang lebih jauh, maka egrang dapat mengingatkan kita tentang keseimbangan dunia-akhirat,” tegasnya.

Keseimbangan ini tercermin dari hubungan antara manusia dengan tuhan, sesama makhluk dan lingkungan, serta keseimbangan peran di keluarga dan masyarakat.

“Maka yang terpenting dalam bermain egrang, juga dalam menjalani hidup, adalah bagaimana manusia dapat menikmati prosesnya dan belajar terus menerus dari langkah-langkah yang kita ambil,” imbuh Yani.

Sekolah Harus Go Internasional

Para siswa bawakan tarian tradisional pada lomba tradisional memeriahkan Hardiknas 2022. (Foto: Wahyu Setiawan/IP).

Dalam kesempatan yang sama, Prof Dr Sumarmi MPd Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang (UM), sekaligus Penasihat Yayasan Pendidikan Kristen Jawa Timur Malang mengingatkan sekolah harus Go Internasional.

“Kita harus siap Go Internasional, tetapi harus tetap berakar pada budaya lokal Indonesia,” tegasnya.

Prof Sumarni mengaku, hal tersebut sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Dimana pendidikan adalah suatu proses yang tidak diam. Pendidikan terus berubah dan berkembang sesuai dengan kondisi zaman, dan juga kondisi peserta didik.

“Jangan bayangkan sistem pendidikan sebagai sebuah sistem besar yang hanya dapat dipikirkan dan diurusi oleh para pakar dan penentu kebijakan di pusat. Sekolah atau bahkan kelas juga merupakan suatu sistem pendidikan dengan ruang lingkup yang kecil,” tuturnya.

Terlebih Prof Sumarni menjelaskan bahwa setiap sekolah memiliki kondisi dan permasalahan masing-masing. Maka dari itu, pengembangan satu sekolah dengan sekolah lain tidak benar-benar sama.

Ia melanjutkan, untuk mengembangkan sekolah dan proses pendidikan ruang kelas secara efektif, Ki Hajar Dewantara sudah mengenalkan asas yang bisa pendidik lakukan.

“Asas tersebut dinamakan dengan Asas Trikon karena terdiri atas tiga asas yang berawalan “kon”, yaitu kontinu, konvergen dan konsentris,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News