Malang, IP – Komunitas Rumah Sahabat kali pertama bergerak pada tahun 2007. Komunitas yang berbentuk semacam rumah singgah ini memiliki nama awal Komunitas Sahabat Anak (KSA). Adanya protes dari beberapa orang, karena memiliki kemiripan nama, sehingga sekitar tahun 2010 berubah nama menjadi Komunitas Rumah Sahabat (KRS), dan terus digunakan hingga sekarang.
Menurut Akhiles Kako, fokus dari komunitas ini adalah keinginan menjadi wadah bagi para disabilitas dan kaum termarginalkan untuk mengembangkan kemampuan, agar bisa mandiri. Karena kesempatan mereka dalam memperoleh hal itu terbilang cukup kecil.
“Sasaran komunitas rumah sahabat lebih ke anak-anak yang termarginalkan dan para disabilitas. Dua sasaran itu yang selama ini masih memperoleh perlakuan diskriminasi dari masyarakat,” tambah Akhiles yang juga pendiri KRS ini.
Dia menyebutkan, bahwa anggota selalu ditanamkan pola pikir berupa “bagaimana yang tidak ada menjadi ada, yang tidak bisa menjadi bisa”. Melalui pola pikir semacam itu, diharapkan anggota yang terdiri dari kaum difabel dan orang-orang yang termarginalkan ini bisa membentuk sebuah karya secara mandiri.
Akhiles melanjutkan, pengembangan minat bakat yang dilakukan oleh komunitas yaitu dalam bidang seni, terutama seni suara. Pengembangannya sudah sampai hingga ke dapur rekaman suara. Hasil kreasi bisa dilihat pada channel youtube KRS Indonesia Channel.
“Saat ini kami memang membutuhkan sponsor atau pemerhati untuk mendukung kegiatan. Agar anak-anak kami bisa setara dengan seniman lainnya. Jadi, meminimalisir adanya diskriminasi. Itu yang sedang kami perjuangkan saat ini,” bebernya
Bicara soal karya, Akhiles menekankan bahwa hasil karya anggota bisa dikatakan seimbang dengan karya anak normal lainnya. Oleh karena itu diperlukan sebuah apresiasi dan dukungan dari berbagai pihak. Terutama masyarakat sekitar. Diketahui pengurus pada KRS ada 5 orang, dengan total anggota h 25 orang. Memiliki tantangan berupa kurangnya penerimaan dari masyarakat, sehingga pihaknya terus memberikan edukasi ke masyarakat, bahwa keterbatasan fisik bukan halangan untuk berkarya dan mengekspresikan diri.”Sejatinya dalam berkarya, baik disabilitas atau manusia normal, memiliki derajat dan hak yang sama.
Tidak ada perbedaan ataupun diskriminasi. Disisi lain tantangannya, para pengusaha belum mau melirik karya kami. Itulah dua kesulitan dan tantangan utama yang kami hadapi,” tuturnya
Akhiles mengaku, anggota yang bergabung dalam komunitas tidak dipaksakan harus berkarya apa. Pihaknya lebih pada mengedukasi, agar mereka bisa menemukan jati diri. Dituangkan dalam karya, yang menjadi nilai bagi dirinya. “Minimal di sini dilatih untuk bisa mandiri, untuk mencukupi kebutuhannya sendiri,” pungkasnya. (was)