Inspirasi Pendidikan – Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan aksi tawuran antarpelajar yang memakan korban jiwa. Ilham (16), meregang nyawa setelah mendapat bacokan di sekujur tubuhnya. Tawuran dua kelompok pelajar SMA tersebut terjadi di Jalan Raya Cipayung, Depok. Aksi amoral generasi milenial ini benar-benar mencoreng wajah pendidikan kita. Pendidikan yang seharusnya melahirkan generasi yang berakhlak mulia justru menjadikan mereka sebagai sosok yang anarkis.
Nilai-nilai moral sepertinya sudah mulai luntur dalam diri pelajar. Keinginannya yang menggebu-gebu disalurkan pada hal-hal yang justru bertentangan dengan agama, hukum dan norma di masyarakat. Dari tahun ke tahun aksi tawuran pelajar ini terus mengalami peningkatan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI mencatat kasus tawuran di Indonesia meningkat 1,1 persen sepanjang 2018. Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listiyarti mengatakan, pada tahun lalu, angka kasus tawuran hanya 12,9 persen, tapi tahun ini menjadi 14 persen (Tempo.co, 12 September 2018).
Angka ini seakan menginformasikan kepada kita semua bahwa kekerasan sudah menjadi bagian budaya (culture) di kalangan masyarakat dan pelajar yang diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, fenomena tawuran ini harus menjadi prioritas utama yang harus cepat diselesaikan. Jika perilaku ini terus dibiarkan, maka akan berbahaya bagi masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan Karakter
Makin brutalnya tindakan kekerasan pelajar menjadi bukti belum maksimalnya penanaman dan pengembangan pendidikan karakter. Sederet kasus tawuran pelajar yang banyak menelan korban mengindikasikan rendahnya moral generasi muda. Dengan kata lain, pendidikan karakter hanya sebatas slogan kosong yang miskin implementasi dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam keluarga, masyarakat maupun di sekolah.
Menurut Muhammad Teja (2012), tawuran pelajar seringkali terjadi karena terbatasnya tempat mengekspresikan diri atau mengalihkan sifat agresif siswa ke hal-hal yang lebih positif dan kompetitif yang juga tentunya dapat membangun karakter mereka.
Melihat persoalan ini, maka solusinya tidak lain adalah penguatan pendidikan karakter. Sekolah perlu menyediakan tenaga pendidik yang benar-benar mumpuni dengan metode-metode pengajaran yang disesuaikan dengan perkembangan kejiwaan siswa, situasi sosial, dan kemajuan teknologi yang perkembangannya sangat pesat. Selain itu, guru perlu mengarahkan proses pengajarannya pada pembentukan karakter peserta didik seperti, sifat empati, toleransi, kompetisi dan mendorong para siswa untuk menjauhkan diri dari segala bentuk aksi kekerasan.
Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk mengurangi aksi-aksi tawuran pelajar. Dalam hal ini pemerintah perlu memberikan tempat yang nyaman disertai dengan program yang mendukung perkembangan dan pembentukan karakter para pelajar sehingga mereka memiliki wadah untuk mengekspresikan hasrat dan keinginannya.
Selain sekolah dan pemerintah, peran orangtua juga perlu dimaksimalkan. Orangtua harus sedini mungkin menanamkan pendidikan akhlak kepada anak-anaknya sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak baik dan jauh dari tindakan anarkis.
Penulis yakin, jika gerakan kolektif yang melibatkan peran sekolah, pemerintah dan orangtua (keluarga) ini berjalan baik dan berkesinambungan, maka generasi milenial (pelajar) kita akan tumbuh menjadi generasi penerus yang mampu membawa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.
Penulis : Hermansyah Kahir, Penulis & founder Sumekar Muda