Sensitivitas, kreativitas, efektivitas dan relativitas dalam proses pendidikan seyogyanya menjadi kesadaran dan pemikiran bersama untuk segenap anak bangsa yang bukan hanya mementingkan hegemonitas perubahan paradigma dari sistem pendidikan itu sendiri dari masa ke masa berikutnya. Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera. Pendekatan humanistik berbeda dengan pendekatan behavioristik. Behavioristik, belajar ditanamkan untuk mengkondisikan individu melalui lingkungan luar. Belajar menghasilkan imitasi prilaku yang dipraktekkan karena ada ganjaran atau hukuman. Pendidikan behavioristik; pengetahuan dipandang sebagai seperangkat prilaku, bahan ketrampilan yang ditetapkan sebelumnya (oleh pakar) yang dianggap penting bagi manusia agar bertahan hidup dalam masyarakat. Sedangkan Humanistik, belajar adalah hasil keingintahuan individu untuk menemukan rasionalitas dan keteraturan di alam ini. Belajar sebagai proses yang berkembang (terbuka). Tugas guru adalah mendorong keingintahuan dari individu dan belajarnya atas penemuan sendiri (self Discovery). Pendidikan Humanistik; Pengetahuan merupakan informasi yang ditemukan sendiri oleh siswa.
Pendekatan Humanistik substansinya kita mendidik anak disesuaikan dengan potensi dan perkembangannya, dengan bahasa mudahnya yaitu menganakkan anak dan tidak mengorangkan anak, juga sebaliknya kita harus mengorangkan orang dan tidak menganakkan orang. Contoh, respon orang tua dan segala resiko yang harus ditanggung anak atas kerjasama yang ditawarkan sekolah. Pada sisi yang lain, ada pula sekolah yang “menyita” anak dari perhatian orang tuanya dengan program pendidikan yang merenggut dari keceriaan masa bermain yang masih mereka perlukan dan kehangatan kasih sayang orang tuanya.
Kasus semacam ini misalnya dengan diadakannya berbagai les yang harus dijalani anak mulai siang sampai sore dan dari senin sampai sabtu. Untuk sebagian besar anak, program belajar demikian bukanlah yang sesuai dengan kebutuhannya. Jadi sebenarnya semua program itu harus dijalani anak dengan tertatih-tatih itu? Mungkin untuk memenuhi ambisi prestasi sekolah, sehingga orang tua tidak bisa berbuat apa-apa atas program yang telah ditetapkan untuk anaknya. Mungkin juga ambisi prestasi orang tua yang memilih sekolah itu agar anaknya berprestasi seperti yang ia inginkan.
Pogram pendidikan semacam ini di satu sisi membuka kemungkinan anak meraih prestasi seperti yang diinginkan tetapi disisi lain haruskah demi prestasi itu, anak mengalami depresi yang tidak seharusnya dia alami. Kalau ternyata harus kegagalan yang harus ia hadapi, siapakah yang harus menanggung beban berat. Anaklah yang akan menanggungnya karena ia harus kehilangan kegembiraan masa kanak-kanaknya dan harus menghadapi kegagalan.
Pihak sekolah, mungkin kejadian itu mengharuskannya mengevaluasi program atau anak itu hanya salah satu dari sekian kasus, sedangkan bagi orang tua mungkin hanya kehilangan sejumlah uang dan sedikit malu, tetapi bagi anak kegagalan itu adalah peristiwa yang sulit untuk dijalani.
Walaupun anak telah mampu meraih prestasi sesuai yang diinginkan, apakah ia sendiri merasa bahagia dan sungguh-sungguh menghayatinya? Ada salah satu contoh mengenai hal ini. Atas kehendak orang tuanya yang berprofesi sebagai dokter spesialis dan “bertangan dingin” seorang anak mengambil kuliah kedokteran, walaupun ia sendiri sangat menginginkan kuliah di fakultas hukum karena cita-citanya ingin menjadi seorang pengacara. Kuliah kedokteranpun ia jalani dengan baik hingga lulus dan bergelar sarjana kedokteran. Setelah ia mendapatkan ijazah kedokterannya, ijazah itu ia serahkan kepada orang tuanya sambil berkata,”Pak ini saya serahkan ijazah kedokteran sesuai apa yang Bapak dan Ibu inginkan. Tugas saya sudah selesai dan sekarang saya akan kuliah di fakultas hukum”.
Dalam kapasitas sebagai anak yang sudah dewasa, tindakan anak ini mungkin kurang tepat, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah tepatkah tindakan orang tua yang memaksa anak menjalani pendidikan yang tidak sesuai dengan keinginannya? Contoh lain orang tua merasa tidak bangga ketika anaknya menjalani pendidikan di SMA tidak di jurusan IPA atau tidak di jurusan IPS atau Bahasa, padahal tidak sesuai dengan kemampuan anaknya, sebagai kompensasinya anak dipaksa mengambil lintas minat yang tidak sesuai dengan minatnya, akhirnya cukup melintas saja tetapi tetap kurang berminat.
Fenomena yang terjadi sekarang ini orang tua lebih senang menyekolahkan anaknya pada usia sedini mungkin. Jelas panitia penerimaan siswa baru di sekolah dasar dengan berat hati menolak anak-anak yang usianya belum genap enam tahun untuk memasuki kelas satu.
Biasanya orang tua bersikukuh untuk memasukkan anaknya dengan alasan anaknya sudah bisa ini dan itu dan berani menjamin anaknya akan bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Tidak jarang pula orang tua yang mencari rekomendasi dari berbagai pihak agar anaknya bisa diterima. Memang banyak anak-anak kita yang mempunyai bakat istimewa tetapi apakah dengan bakat istimewanya itu justru dirampas kebahagiaan masa kecilnya untuk bermain? Sudah tibalah saatnya ada kebijakan untuk menetapkan usia minimal anak sekolah. Nikmatilah duniamu wahai anak-anakku, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang diberikan-Nya. Sebagai rasa cinta tak bersyarat kami kepadamu.