Yang Lebih Mengkhawatirkan dari Lost of Learning

0
Foto : Posmetropadang.com

Mas Menteri akhirnya ‘angkat tangan’ untuk memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Tahap demi tahap muncul kebijakan baru. Dimulai dari kebijakan bahwa kegiatan tatap muka diserahkan sepenuhnya kepada kepala daerah masing-masing. Tak ada lagi larangan daerah hitam atau merah untuk bisa memulai tatap muka.

Kemendikbud lepas tangan jika sekolah bersangkutan di daerah menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Masing-masing pemerintah daerah dianggap lebih tahu sekolah-sekolah yang bisa menyelenggarakan tatap muka. Begitu juga pengaturan tatap muka diserahkan kebijakan masing-masing kepala daerah. Setiap sekolah menggilir siswanya untuk masuk kelas atau apapun caranya diserahkan sepenuhnya ke pemerintah daerah.

Yang terbaru Mas Menteri berharap ada agar daerah 3T (tertinggal, terluar, terdepan) yang tidak bisa melakukan PJJ sebaiknya mulai melakukan tatap muka dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Mas Menteri tampaknya lupa, guru-guru berpengabdian tinggi sudah melakukan itu tanpa diingatkan.

Empati para guru terhadap siswa yang ada di 3T tak perlu diragukan lagi sehingga dipastikan mencari solusi agar anak didiknya mendapat pelajaran. Ada atau tidak adanya Covid-19, para guru memberlakukan tatap muka akibat susahnya jaringan internet. Mereka memang tidak mengenal PJJ karena memang tidak ada sarana yang membuat mereka harus melakukan PJJ.

Kebijakan atau bentuk mengingatkan dari Mas Menteri tak lepas dari kekhawatiran. Covid-19 yang membawa dampak luar biasa di dunia pendidikan membuat siswa menjadi tidak terkontrol mendapat pelajaran. Bahkan sebagian besar tidak belajar akibat pengawasan yang sangat lemah dari orang tua atu sekolah. Dengan mulai ‘melepas’ PJJ, Mas Menteri berharap agar tidak sampai terjadi lost of learning atau siswa kehilangan kemampuan dan pengalaman belajar.

Kekhawatiran yang wajar meski ada kekhawatiran lain yang lebih dahsyat dengan munculnya keterbatasan-keterbatasan segala sesuatu akibat Covid-19. Bagi dunia pendidikan, keterbatasan-keterbatasan tersebut berpengaruh besar terhadap anak didik. Mereka tidak sekadar tidak mendapat pelajaran atau yang dalam bahasa Mas Menteri adalah lost of learning yang sifatnya material. Sisi lain tak kalah penting adalah pendidikan etika dan sikap yang biasa didapat dari guru, baik teori maupun praktik.

Meski jumlah waktu sekolah relatif lebih pendek dari di rumah, pengaruh terhadap siswa cukup besar. Bahkan untuk siswa yang tidak memiliki waktu berkualitas di rumah, sekolah menjadi tempat pembentukan akhlak. Tentu saja konteks sekolah di sini tidak cuma guru namun seluruh perangkat yang terlibat di dalamnya termasuk teman. Tidak menutup kemungkinan juga seorang siswa mendapat pengaruh buruk dari teman atau lingkungan sekolah.

Tak ada salahnya jika Mas Menteri tidak sekadar memperhatikan faktor lost of learning, namun juga lost of ethic atau bahkan lost of religion. Meski jika dipilah persoalan akhlak dan agama bukan urusan Kemendikbud, sangat naif jika tidak mau disebut juga dari sekolah anak-anak selain mendapat pelajaran secara umum namun juga pelajaran dan pengajaran agama dan etika. Sebuah materi yang tidak sekadar berdasar teori namun juga praktik. Karena itu tak heran muncul sebuah pepatah ‘Guru kencing berdiri murid kencing berlari’, tanpa menyebut guru mata pelajaran apa yang kencing berdiri.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News