Kab Malang, IP – Desa merupakan daerah dengan karakteristiknya tersendiri. Guna mengatur wilayah desa, pemerintah telah mengeluarkan undang-undang (UU) Desa. Namun karena banyak masyarakat, khususnya pegiat desa belum memahami tentang UU Desa. Membuat Iman Suwongso terdorong membentuk gerakan bernama “Sinau Desa”.
“Munculnya undang-undang desa membuat kita tergerak untuk belajar tentang desa melalui Sinau Desa. Sinau desa adalah tempat belajar tentang desa, karena yang kumpul dan belajar bersama itu mayoritas para penggiat desa, seperti dari pemerintah desa, pendamping desa yang peduli terhadap desa, hingga partikelir,” ungkap Iman, Pendiri Gerakan Sinau Desa
Dirinya melanjutkan, tujuan dari Sinau Desa adalah untuk saling belajar supaya implementasi UU Desa dan turunannya bisa berjalan dengan baik. Selain itu juga agar dimengerti oleh “desa”, terutama pelaku-pelaku desa, seperti kepala desa, perangkat desa, dan juga lembaga masyarakat desa.
Iman menjelaskan, gerakan Sinau Desa dijalankan sejak Oktober 2017, dan terus berjalan sampai sekarang. Pada masa pandemi seperti saat ini, Sinau Desa dijalankan hanya melalui grup Whatsapp (WA). Hal karena adanya larangan berkumpul atau membuat kerumunan. Jika tidak belajar melalui grup WA, pihaknya akan mengadakan webinar dan sejenisnya.
“Untuk pelaku desa, tugasnya itu langsung terjun ke desa. Ketika mereka menemukan masalah di lapangan, kita diskusikan di grup WA. Biasanya kalau terbatas, kita masih jalan untuk turun ke lapangan tidak lebih dari 10 orang.
Tapi kalau luas hanya pakai grup WA saja,” tutur Iman
UU Desa yang memberikan kewenangan pada desa, dalam artian desa menjadi semi otonom. Menurut Iman, justru terkadang menimbulkan permasalahan psikologis bagi desa. Artinya ketika desa sudah dilepaskan untuk memutuskan kebijakannya rumah tangganya sendiri, desa cenderung masih “gagap” dan terkadang masih menunggu perintah dari kabupaten dan sebagainya.
“Selama ini, desa sub koordinat dari kabupaten. Tapi sekarang sudah diberi kewenangan sendiri. Ketika pemerintah desa yang selama ini sifatnya masih dikendalikan (top down), sehingga secara psikologis masih tetap menunggu dari atasan (kebiasaan). Bukannya orang desa tidak mampu, tetapi karena ini UU Desa ini masih baru. Maka sering terjadi perubahan regulasi dari peraturan pemerintah atau pun menteri,” pungkasnya. (was)