Menginspirasi dengan Berliterasi oleh Jumari

0

Judul Buku: Inspirasi Penggerak Literasi
Penulis : Ahmad Wiyono, Aminuddin, Aura Sintya Amitista, dkk.
Penerbit: Azyan Mitra Media, Yogyakarta
Edisi : I, Juli 2020 Tebal Halaman:164 Halaman
Peresensi : Jumari (Dosen FAI Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang)

Literasi masih belum membudaya bagi masyarakat. Minimnya budaya baca hingga mampu memberikan pengaruh bagi kehidupan belum menjadi suatu kebutuhan. Jikalau ada kegiatan membaca masih sebatas pengetahuan belaka. Belum terdapat upaya implementasi pada realitas kehidupan.
Hal itu mengindikasikan bahwa budaya membaca masih lemah, jika dibandingkan dengan budaya menonton. Dalam beberapa survei dinyatakan Indonesia menempati posisi terendah dalam bidang literasi. Kondisi itu kurang membanggakan di tengah persaingan global digitalisasi media dan informasi.
Berliterasi tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan keseharian manusia. Perlu ada upaya untuk menumbuhkan budaya literasi di masyarakat. upaya itu bukanlah sesuatu yang mudah, melainkan membutuhkan pengorbanan dan semangat yang menginspirasi agar literasi tetap lestari. Kehadiran para penggerak literasi sebagai bentuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya literasi.
Mereka secara suka rela dengan semangat berbagi dan mengabdi terjun langsung menyuarakan pentingnya literasi, baik di sekolah, organisasi, maupun masyarakat. Kebanyakan dari mereka berasal dari lapisan masyarakat biasa dan tidak memiliki nama besar. Namun mereka memiliki kepedulian dan mimpi besar untuk menumbuhkan dan mengembangkan literasi di Indonesia semakin membudaya dan lebih baik.
Mengutip perkataan Bapak Proklamator Indonesia, Bung Hatta, “aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”. Di sini, para tokoh bangsa menempatkan membaca sebagai sarana untuk membebaskan dari belenggu ahistoris dan kebodohan. Bahkan sosok Tan Malaka dalam Madilog-nya berujar, “selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”
Kedua tokoh itu menyadari, bahwa kualitas suatu bangsa sejalan dengan budaya literasi bangsa tersebut. Penguasaan literasi dalam segala aspek memang menjadi tulang punggung kemajuan peradaban suatu bangsa (hlm. 41).
Budaya literasi juga harus dibangun dari rumah. Rumah merupakan tempat belajar pertama anak. Apabila sejak awal anak sudah kenal budaya literasi, maka akan memudahkan untuk menciptakan generasi yang berliterasi dalam skala besar. Untuk itu, harus dilakukan pembiasaan-pembiasaan membaca dan menulis dalam lingkungan keluarga, yang dicontohkan oleh kedua orangtuanya. Karena orangtua sebagai pendidik utama dan pertama dalam lingkungan keluarga (hlm. 69).
Beragam upaya dilakukan dalam membudayakan literasi, baik melalui keluarga di rumah, taman bacaan, organisasi, lembaga pendidikan, dan dimana saja berada. Semangat berliterasi tetap terus didengungkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara untuk memasyarakatkan literasi dengan membiasakan dan membudayakan membaca mulai tingkatan anak-anak sampai dewasa. Bentuk budaya literasi yang nyata dapat diperhatikan melalui kegemaran membaca.
Dalam buku ini dikisahkan berbagai perjuangan dalam membudayakan literasi. Ada cara gowes, yaitu dengan bersepeda sambil membawa buku-buku sebagai bahan bacaan ketika berada pada tempat-tempat tertentu, seperti taman kota, sekolah, taman bermain, masjid dan lain-lain. Para pegiat literasi ini kemudian memamerkan buku-buku yang dibawanya dengan menaruhnya di atas tikar atau alas agar semua orang berdatangan dan membacanya. Sedemikian upaya yang dilakukan dalam menyebarkan virus membaca kepada masyarakat.
Kisah gowes ini sebagaimana yang ditulis oleh Edi Dimyati, pegiat literasi memiliki banyak cara untuk menggelorakan semangat membaca, bisa membuat taman baca yang berada di pemukiman warga atau langsung menjemput dan hadir di tengah masyarakat dengan membawa buku-buku yang bermutu. Seperti yang dialami Edi Dimyati, melalui gowes dia menggelorakan semangat membaca (hlm. 58).
Perjalanan panjang gowes literasi yang dialami Edi Dimyati menjadi inspirasi tidak saja gowes sebagai sarana olah raga dan hobi, tetapi gowes penuh arti dengan menggelorakan literasi, hingga perjalanan tour dari Cibubur (Jakarta) menuju Kuningan (Jawa Barat).

Meski tanpa didukung sponsor, para pegiat literasi seperti Edi Dimyati ini terus beraksi, tentu dengan memasyarakatkan membaca. Membaca bukan sia-sia, tapi membaca akan membuka pemikiran dan makna dalam hidup manusia.
Suka-duka bagi pegiat literasi beragam, setiap orang memiliki kisah dalam latar situasi yang berbeda-beda. Iwan Sumantri mengkisahkan bagaimana suka-duka menjadi pegiat literasi di sekolahnya, SMP Negeri 3 Cibadak Sukabumi. Sekolah ini mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai bentuk upaya menumbuhkan minat baca siswa untuk mencintai pengetahuan. Dalam menumbuhkan minat baca tidak hanya teruntuk siswa, namun semua elemen sekolah dapat terlibat di dalamnya, seperti pesuruh, penjaga, siswa, guru, kepala sekolah, dan orang tua beserta komite sekolah. Keterlibatan semua pihak ini akan mendorong semakin berkembangnya Gerakan Literasi Sekolah.
Tetapi yang terjadi justru dijumpai peran masyarakat yang di dalamnya terdapat orang tua dan komite sekolah belum mampu berperan secara optimal dalam menumbuhkan budaya literasi ini. Semangat yang naik-turun bukan menjadi halangan yang berarti untuk tetap menggelorakan budaya literasi di tengah masyarakat. Masyarakat harus mulai menumbuhkan kesadaran untuk membaca dan menghindari perasaan takut untuk menulis. Karena dengan menulis bukan hanya menuangkan pikiran, ide dan pengetahuan yang dimiliki, tetapi sebagai bentuk berbagi pengetahuan kepada orang lain (106).
Buku ini merupakan buku antologi dengan penulis-penulis yang memiliki semangat dan kecintaan pada dunia literasi. Dengan menulis dia ada, dengan karya dia mengubah dunia. Penulis-penulis tersebut memiliki background profesi yang beragam, sehingga cara pandang mereka pun bervariasi. Hingga dalam pemuatan tulisan tersusun dalam struktur dua ide utama yang terurai dalam tulisan-tulisan beragam judul, agar mudah dalam memahami. Kedua ide pokok tersebut tentang literasi di bumi pertiwi dan inovasi dan jalan panjang penggerak literasi. Ide pertama memuat delapan judul tulisan, dan ide kedua memuat dua belas judul tulisan.Banyak kisah atau pengalaman yang dialami penulis secara langsung dalam membudayakan literasi. Kisah atau pengalaman itu agar tidak sirna begitu saja, maka dengan menuliskan dalam buku ini menjadi suatu inspirasi agar literasi tetap abadi. Literasi mampu menjadikan kehidupan masyarakat semakin berarti, bukan saja untuk diri sendiri, namun orang lain pun dapat mengikuti jejak langkah yang telah dilalui oleh para pegiat literasi. Buku ini layak untuk dimiliki bagi sesiapa yang ingin terus menghidupkan literasi, terutama literasi sebagai budaya bagi diri sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News