INSPIRASI – Menempuh pendidikan di dunia pesantren adalah pilihan pribadi Qolbi An Nuri Syifa sejak dirinya memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Prinsip ingin mandiri, menjadi landasan awal dara cantik asal Desa Senori, Tuban ini memilih Pondok Pesantren Nurul Ulum (PPNU) Malang sebagai tempat menimba ilmu.
Menyelesaikan jenjang pendidikan Madrasah Aliyah (MA) di PPNU menambah ketertarikan perempuan kelahiran Oktober 1998 itu untuk menguasai ilmu lebih luas, saat dirinya diterima di Fakultas Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang.
Meski harus disibukkan dengan aktivitas kuliah, Sofi tetap memilih tinggal di pesantren. Dirinya merasa luasnya ilmu tidak cukup dipelajari hanya dalam tempo beberapa tahun saja. “Masih seneng tinggal di sini, sekaligus membantu pondok. Mungkin baru akan keluar jika sudah menikah,” jelas wanita jelang 22 tahun ini.
Selama hidup di lingkungan pesantren, Sofi dikenal pandai, terutama dalam bidang ilmu fiqih. “Tanpa bermaksud mendekotomikan ilmu, fiqih lebih menarik untuk dipelajari. Dalam fiqih aturan hidup dan ibadah dijelaskan begitu detail dan filosofis. Terutama fiqih perempuan, dari hal paling remeh dan paling penting yang dibahas didalamnya, jika dipahami benar, pasti mampu menguatkan perempuan dalam kodratnya,” papar anak pertama dari tiga bersaudara itu.
Kesetaraan gender, menurutnya dibahas lebih halus dan etis dalam konteks fiqih. “Unsur ijma’ dan qiyas dalam fiqih sangat mendominasi. Dalam satu sisi, perempuan harus kuat dan mandiri, namun lebih dari itu seorang perempuan adalah madrosatul awal (sekolah pertama) bagi anak. Maka jika kita ingin menjadi ibu sekaligus istri yang sempurna, dasarnya sudah jelas. Suami adalah seorang imam, dan akan jadi imam yang baik jika memiliki istri baik. Semuanya akan terjadi, jika perempuan telah terdidik dengan hukum-hukum fiqih,” tegas santriwati yang diasuh oleh KH Ali Mustofa As’adi ini.
Kini Sofi selain fokus menyelesaikan jenjang S-1 nya, juga terlibat dalam program pemberdayaan perempuan yang digagas oleh salah satu organisasi mahasiswa. “Hancur rasanya, melihat wanita seusia saya sudah memiliki anak, dengan kehidupan tragis terperosok di dunia hitam. Semua terjadi, karena tidak cukup memiliki pengetahuan tentang berumah tangga dan menjadi wanita seutuhnya. Dan itu semua dibahas tuntas di fiqih,” kata relawan untuk salah satu lembaga perlindungan perempuan di Kota Batu ini.
Lebih lanjut, dirinya bersama beberapa teman satu tim, merasa bangga bisa terlibat dan mengetahui tentang fakta hidup di luar pesantren. “Banyak di antara mereka yang tidak selesai pendidikan formalnya, bahkan karena faktor broken home.
Sebab itulah, kami mencoba memperkenalkan kaidah agama melalui fiqih wanita. Menjadi wanita itu tidak berat, namun juga tidak bisa dipandang enteng,” ucap santriwati terbaik 2016 ini mengakhiri pembicaraan.(doi)