Gus Agus terbaring sendiri. Di luar hujan begitu deras ditingkahi angin yang terdengar menyayat sembari membawa butiran air masuk. Di bawah beberapa pasangan genteng, terdapat baskom dan ember untuk menampung tetesan-tetesan air yang lolos bertahan dari genteng.
Matanya menatap atap yang mulai membasah dan sebentar lagi bakal jadi tetesan2 air jika hujan tidak segera reda. Sementara telinganya mendengar dengan jelas hujan bercengkerama dengan angin begitu seru. Seakan terbilang tahun tak bertemu hingga gurauan mereka meledak-ledak tak terkira.
Hanya napas yang bisa ditarik dan diembus pelan-pelan meresapi perjalanan hidupnya tanpa orang tua. Sehari-hari hanya berteman gadget yang memberinya informasi hiruk-pikuk aktivitas dunia luar. Mulai persiapan pernikahan selebriti, pencaplokan partai politik, hingga kegiatan presiden yang remeh-temeh.
Tak ada penyesalan, terlebih hujatan dengan menyebut tak adil terhadap Tuhan. Gus Agus sangat menyadari garis-garis tangan akan menuntunnya ke sebuah takdir lanjutan yang baik jika bersabar. Keyakinan hidup terhadap keadilan Yang Maha Adil sangat mantap, semantap dirinya menjalani kehidupan.
Tak terasa matanya meredup dan saat hampir hilang terdengar suara ketokan di pintu rumah. Suaranya lamat-lamat sehingga kesadarannya belum pulih untuk mendengarkan suara. Hingga akhirnya tubuhnya langsung meloncat saat ketukan itu berubah dengan gedoran.
“Gus……Gus Agus!” teriak sebuah suara dari luar di antara derasnya hujan yang disusul dengan menyebut identitas, “Iki aku Ciblek!”
“Iyo…iyo wis eruh!” Gus Agus tak mau kalah berteriak untuk mengalahkan suara hujan.
Usai pintu dibuka, Gus Agus melihat Ciblek yang basah kuyup sembari mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
“Ndang aduso ndik jeding, tak jukukno kaos karo kathok gae ganti,” perintah Gus Agus.
Usai prosesi mandi dan ganti baju, Gus Agus langsung minta informasi selengkapnya ke Ciblek.
Setelah meneguk teh panas yang dibuatkan Gus Agus, maka Ciblek bercerita dirinya terpaksa ke rumah Gus Agus karena rumahnya terkunci. Semua penghuni rumah bepergian ke rumah saudara yang sedang punya hajat.
“Nek gak mrene terus kate nang endi maneh?” wajah Ciblek terlihat memelas.
”Yo gak popo se, aku seneng-seneng ae. Cumak siji pesenku,” kata Gus Agus.
“Opo Gus?” tanya Ciblek.
“Ojok sekali-kali nduwe pikiran kate ngepek omah iki,” jawab Gus Agus.
“Kok iso duwe pikiran koyok ngono Gus?”
“Cumak jogo-jogo ae. Saiki awakmu koncoku, iso ae sesuk dadi mungsuh terus ngepek omahku,” kata Gus Agus yang membuat Ciblek berpikir keras kenapa sampai muncul pikiran seperti itu. (Noordin Djihad)