Wabah Corona virus disease 2019 (Covid-19) telah melanda sekitar 215 negara di seluruh penjuru dunia.
Pandemi ini menjadi tantangan tersendiri bagi keberlangsungan berbagai sendi kehidupan, termasuk pendidikan.
Untuk melawan Covid-19, pemerintah telah memerintahkan untuk menjauhi kerumunan, melakukan pembatasan sosial (sosial distancing) dan menjaga jarak fisik (physical distancing), memakai masker dan selalu mencuci tangan.
Di bidang pendidikan, pemerintah menyikapi keadaan ini dengan membuat kebijakan melalui Surat Edaran (SE) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.
Baca Juga: Menjadi Guru Tidak Mudah, Ini Tantangan Pendidikan di Masa Pandemi Covid-19
SE itu menunda segala kegiatan, baik di dalam dan di luar ruangan, di semua sektor demi memutus mata rantai penularan dan penyebaran virus Corona.
Dari adanya kebijakan pemerintah tersebut, kemudian muncul opsi pembelajaran elektronik (e-learning) atau pembelajaran dalam jaringan (daring). Ini sebagai langkah dan upaya agar pembelajaran tetap berjalan.
Opsi inilah yang dijalankan secara masif oleh sebagian besar sekolah di seluruh penjuru nusantara ini. Para penulis yang tergabung dalam Komunitas Sukabaca, pada akhir tahun 2021, menerbitkan buku Ngopi Dulu Dik. Buku ini menyoroti tentang berbagai hal yang terjadi pada masa pandemi ini, khususnya pendidikan.
Berbagai keterbatasan pada masa pandemi memang mengubah banyak hal. Ini menjadi pelajaran penting bagi semua orang, termasuk para penulisnya.
Mukani, salah satu contributor, menjabarkan secara rinci berbagai kekurangan dalam pembelajaran masa pandemi sebagai konsekuensi logis atas ketidaksiapan dalam menghadapi wabah yang tidak disangka ini.
Baca Juga: Fokus Pendidikan, Menteri BUMN Beri Bantuan 3.638 Guru Honorer
Mulai dari ketidakmampuan pembelajaran daring menjangkau aspek spiritual dan sosial sebagai artikulasi dari KI-1 dan KI-2, sehingga hanya bersifat kognitif sentris.
Dari tiga ranah yang harus dikembangkan secara seimbang, yaitu kognitif (cipta), afektif (rasa), dan psikomotorik (karsa), mayoritas guru hanya mengarah pada aspek kognitif saja.
Meskipun pemerintah berupaya menyesuaikan kurikulum dengan melahirkan kurikulum darurat, kondisi riil di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan itu masih sebatas hitam di atas putih.
Salah satu yang menjustifikasi hal ini adalah sistem evaluasi yang digunakan para guru mayoritas berbentuk pilihan ganda yang merupakan manifestasi bentuk soal kognitif.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya alokasi jam pelajaran yang dipangkas hingga 50%. Hal ini tentu membatasi mengurangi ruang gerak para guru untuk mengeksplorasi kemampuan siswa dari berbagai ranah.
Baca Juga: Pembelajaran tatap Omicron
Di sisi lain, dia juga menyoroti peran orang tua dalam pembelajaran selama masa pandemi.
Sebelum masa pandemi, mayoritas orang tua cenderung bersikap “masa bodoh” terhadap pendidikan anaknya. Orang tua seakan pasrah bongkokan, memasrahkan secara total perkembangan pendidikan anaknya kepada sekolah.
Orang tua yang sudah disibukkan oleh pekerjaannya, hanya sekali tempo saja memantau perkembangan pendidikan anaknya.
Itupun hanya berdasarkan angka-angka yang disajikan guru melalui raport hasil belajar siswa.
Peran orang tua hanya bersifat seremonial dan insidental saja. Tapi selama masa pandemi ini, mau tidak mau, peran orang tua begitu nyata. Orang tua harus berperan sebagai “guru” di rumah.
Baca Juga: Urgensi Video Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19
Orang tua harus menyediakan lebih banyak waktu dan perhatiannya untuk mendampingi belajar anak-anaknya. Penjelasan tersebut juga diamini penulis lainnya, Muhammad Yusuf dan Arief Wahyu Wibowo.
Menurut Yusuf, pembelajaran daring adalah buah simalakama, antara prestasi dan frustasi.
Di balik prestasi masifnya penggunaan teknologi dalam pembelajaran, juga muncul frustasi yang dialami guru, siswa dan orang tua.
Apalagi pembelajaran daring yang dilakukan pada tingkat usia dini (PAUD), sebagaimana paparan Arief Wahyu Wibisono. Permasalahannya jauh lebih rumit dan kompleks.
Terlepas dari itu semua, masa pandemi adalah tantangan untuk berbagai aspek kehidupan. Menurut Aries Utomo, pandemi telah memaksa terjadinya disrupsi, khususnya dalam pembelajaran.
Baca Juga: Meski Banyak Tantangan, Guru Tetap Layani Pendidikan dengan Maksimal
Pembelajaran yang sebelumnya hanya bersumber dari kelas saja, tetapi sekarang bisa belajar dari manapun dan kapanpun secara daring.
Pembelajaran yang sebelumnya bersumber dari buku saja, sekarang bisa merujuk pada banyak sumber lain yang juga dapat diakses kapanpun, dimanapun, dengan biaya yang jauh lebih murah.
Pembelajaran yang sebelumnya hanya menggunakan media papan tulis dan kertas saja, sekarang bisa menggunakan handphone dengan berbagai fitur yang tersedia.
Selain itu, pandemi juga merupakan ujian bagi eksistensi sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan. Menurut Dhian Manik Surendra, kata sekolah dibentuk dari 7 huruf S-E-K-O-L-A-H yang masing-masing memiliki arti penting. S adalah solid, E adalah Empowerement, yaitu usaha menyelesaikan berbagai masalah, K merupakan kompetensi, O adalah optimisme, L adalah luwes atau leluasa, A adalah aktif dan H yang berarti humanis.
Pandemi memang tidak terduga, tidak dinyono-nyono, sehingga kita gagap menghadapinya. Tetapi bukan berarti kita harus menyerah begitu saja.
Sekolah dan semua pihak terkait yang ada di dalamnya harus tetap berdiri tegak membuktikan bahwa lembaganya adalah sekolah yang sebenarnya.
Sekolah yang memanifestasikan arti dalam 7 huruf pembentuknya, yaitu S-E-K-O-L-A-H.