Mengemudikan mobil seharusnya menggunakan tiga spion yaitu spion kanan, spion kiri dan spion tengah (untuk melihat haluan belakang), begitu juga pengajaran dalam kontek pendidikan harus menggunakan tiga pendekatan yaitu: Pendekatan behavioristik, pendekatan konstruktivistik, dan pendekatan humanistik.
Baca Juga:
Generasi Muda Jadilah “Manusia Sakti”, Oleh: Dr. Imam Mutasim, M.Pd
Budaya Kolaborasi IMTAQ dan IPTEK Pada Generasi Penerus, Oleh: Dr. Imam Mutasim, M.Pd
Menatap Lukisan Budaya Melalui “Bahasa Politik”, Oleh Dr. Imam Mutasim, M.Pd
Pendidik/pengemudi dalam menjalankan mobil tentunya memfungsikan otak, mata, tangan dan kaki (untuk mengoperasikan gas dan kopling) tetapi disaat yang bersamaan, ketika ada jalan tikungan maka tulisan yang muncul disana adalah “Hati-hati” bukan otak-otak ataupun tangan-tangan. Artinya “rajanya” adalah hati, dengan demikian dalam mendidik, harus menggunakan hati dan berorientasi pada latar belakang si anak (Humanis).
Aliran konstruktivistik berbeda dengan aliran behavioristik. Aliran behavioristik menekankan pada terbentuknya prilaku yang nampak sebagai hasil belajar, bukan pembentukan prilaku. Menurut pandangan konstruktivistrik proses belajar adalah kegiatan mental yang aktif, bukan penerimaan secara pasif terhadap pengajaran. Selama proses belajar, pebelajar mengkonstruksi pengetahuan dari pengalaman, struktur mental dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa. Konstruktivisme meyakini bahwa pengetahuan dan kebenaran dikonstruksi oleh manusia dan tidak berada di luar pikiran manusia.
Menurut perspektif konstruktivistik belajar ditentukan oleh complex interplay yang ada dalam pengetahuan pebelajar, konteks sosial dan masalah yang harus diselesaikan. Misi utama pendekatan konstruktivistik adalah membantu pebelajar untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui proses internalisasi, pembentukan kembali dan transformasi infomasi yang telah diperolehnya menjadi pengetahuan baru.
Budaya Paternalistik bagi sebagian masyarakat kita masih mendarah daging sehingga dunia pendidikanpun tidak bisa lepas dari budaya tersebut. Model pengajaran yang seharusnya merupakan kombinasi antara aplikasi behaviorisme dan konstruktivisme sering kali masyarakat peduli pendidikan kita merasa aneh, jika ada seorang guru di suatu kesempatan mencoba menggunakan aplikasi kontruktivisme tanpa harus bertanya kepada guru itu bagaimana kondisi siswanya. Padahal dalam kondisi tertentu guru boleh beralih dari behavioris menjadi konstruktivis.
Ketika menyampaikan pengajaran guru membahas dalam satu kompetensi dasar dan belum tuntas karena melihat siswa agar bisa belajar dengan enjoy, tidak menjemukan maka tidak salah jika tiba-tiba beralih ke kompetensi dasar yang lain, tentu dengan maksud kompetensi dasar yang belum tuntas itu akan diselesaikan di kesempatan lain alias tidak harus sesuai dengan sistematikanya dengan catatan cakupan materi dalam satu semester harus tersampaikan dalam waktu satu semester.
Bahkan ketika membahas satu kompetensi dasar belum tuntas bisa tiba-tiba guru mengajak melanjutkan materi itu dengan cara belajar di luar kelas. Ketika memberikan latihan seyogyanya guru memberikan penguat (reinforcemen) misalnya memberikan hadiah kepada masing-masing siswa yang telah memberikan jawaban, terlepas jawaban itu sempurna ataupun belum sempurna. Guru dalam kondisi tertentu boleh diam sejenak sehingga terjadi kesenyapan dengan maksud untuk merefleksi bagaimana kondisi terakhir dari siswa yang sedang dihadapi.
Untuk pengajaran dalam konteks tertentu seorang guru harus menggunakan pendekatan kontruktivistik, dalam konteks dan kondisi tertentu pula guru perlu menggunakan pendekatan behavioristik. Dalam suasana dan kondisi tertentu seorang guru harus tiba-tiba menjadi seorang yang humanis. Pendekatan humanistik substansinya kita mendidik anak harus disesuaikan dengan potensi dan perkembangannya Baca konten selengkapnya versi cetak di Tabloid Inspirasi Pendidikan Edisi 131