Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nadiem Makarim Senin (1/2) lalu meluncurkan program Merdeka Belajar Episode 7: Sekolah Penggerak. Harapan Mas Menteri, sekolah ini bisa menjadi rujukan dan pendampingan terhadap sekolah-sekolah di sekitarnya untuk meningkatkan kualitas. Dimulai dari tingkat desa, kecamatan dan akhirnya kota/kabupaten. Untuk menentukan sekolah penggerak yang selanjutnya disebut sebagai Sekolah Unggulan, Kemendikbud bekerja sama dengan pemerintah daerah.
Tentu saja Sekolah Penggerak identik dengan Sekolah Unggulan karena institusi pendidikan tersebut menjadi rujukan bagi sekolah lain di sekitarnya. Kalau tidak unggul, bagaimana mungkin bisa menjadi penggerak sebagai tempat mentoring dan e-learning bagi sekolah lain. Ibarat kereta api, lokomotif sebagai penggerak rangkaian kereta lain pasti memiliki kelebihan. Walau secara fisik lebih kecil mungkin dibanding kereta penumpang atau barang, secara teknologi dan kelengkapan yang ada, lokomotif pasti lebih unggul.
Yang menarik, Mas Menteri ternyata masih dalam angan-angan ketika meluncurkan program Sekolah Penggerak ini. Melalui bahasa imajinasi, Mas Menteri menyebut sekolah penggerak adalah sekolah tempat siswa dinomorsatukan dari semua keputusan-keputusan sekolah. Juga, sekolah penggerak adalah sekolah yang memprioritaskan anggarannya terhadap benar-benar peningkatan mutu pengajarannya. Kemudian Mas Menteri masih berimajinasi, Sekolah Penggerak adalah sekolah yang kepala sekolahnya terus mendatangi ruang kelas dan melakukan observasi pendidikan serta memberikan umpan balik kepada para guru.
Dengan imajinasi tersebut, Mas Menteri sekaan menegaskan Sekolah Penggerak bukanlah Sekolah Favorit yang selama ini dikenal masyarakat. Secara singkat Sekolah Penggerak lebih mengutamakan pada kualitas pembelajaran sekaligus keluaran atau alumninya yang tersebar, sementara Sekolah Favorit biasanya dikenal karena siswanya adalah anak-anak pejabat atau pengusaha sehingga segala sarana dan prasarana sekolah lebih lengkap dibanding sekolah lain. Pun, sekolah favorit biasanya juga dikenal dengan kegiatan ekstra kurikuler yang memiliki keunggulan.
Terlepas dari imajinasi-imajinasi liar Mas Menteri, untuk membuat Sekolah Penggerak tidak semudah membalik tangan, Butuh proses yang panjang agar bisa disebut sebagai Sekolah Penggerak atau Unggulan. Setidaknya terdapat tiga elemen saat satu sekolah layak disebut Sekolah Penggerak. Pertama, sumber daya manusia (SDM) yang terdiri dari guru, siswa, dan tenaga kependidikan. Mereka tidak harus pintar atau cerdas, namun lebih mengutamakan pada kekompakan untuk menjalankan sistem menuju tujuan yang diharapkan. Guru harus bisa memberi teladan kepada siswa, sementara siswa mendapat teladan dari guru terutama soal sikap dan kepribadian serta etika.
Kedua, sarana dan prasarana sebagai pendukung kegiatan belajar (KBM). Terlebih di era teknologi informasi yang bergerak sangat cepat dan hampir memasuki gerbang 5.0, sarana prasarana sifatnya sangat mutlak. Tanpa sarana dan prasarana jangan berharap sekolah bisa menjadi penggerak. Sama saja dengan ingin berburu harimau, berbekal ketapel.Terakhir tentu saja sistem yang diberlakukan di sekolah tersebut.
Tidak hanya berbeda namun memiliki kelebihan dalam meramu anak didik tidak sekadar pandai namun juga memiliki akhlak atau etika mulia. Pembentukan karakter kepribadian ikut menentukan anak didik memasuki masa depan layaknya di belantara. Kejujuran, kedisplinan, kemandirian, dan beberapa pembentukan kepribadian lainnya tak kalah penting dibanding kepandaian.(*)