Perhatian masyarakat Indonesia pada pekan terakhir tersedot oleh munculnya SKb Tiga Menteri tentang seragam sekolah. Banyak yang bertanya-tanya yang dalam bahasa gaul berbunyi “Sampai segitunya” hingga persoalan seragam sekolah melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Agama (Kemenag).
Mestinya masalah seragam cukup sampai di meja Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) di Kemendikbud.
Seperti halnya saat awal diputuskan pemakaian seragam sekolah bagi siswa sekolah negeri, padqa zaman Soeharto ada di meja Ditjen Dikdasmen. Tepatnya pada 17 Maret 1982, Ditjen Dikdasmen mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang seragam sekolah bagi siswa khususnya sekolah negeri yang berada di bawah pengelolaan pemerintah RI.
SK tersebut bukan hanya berisi tentang penyeragaman pakaian sekolah, tetapi juga mengatur corak warna yang berlaku bagi tiap tingkatan sekolah di Indonesia sebagaimana yang dikenakan para pelajar saat ini.
Bagi siswa SD, seragam hem putih dengan bawahan merah melambangkan energi dan keberanian bagi siswa untuk belajar. Corak warna biru pada seragam SMP melambangkan komunikasi dan percaya diri karena pada masa-masa ini siswa SMP sedang dalam masa pengembangan kepercayaan diri. Adapun corak warna abu pada seragam SMA menunjukkan kedewasaan dan ketenangan.
Pencetus seragam ini adalah Idik Sulaeman yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pembinaan Kesiswaan di Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah dengan masa periode 1979-1983.
Idik yang merupakan alumni Pendidikan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung ini juga merupakan pembuat lambang OSIS dan Paskibraka.
Betapa simplenya Soeharto saat itu memutuskan tentang seragam. Sebagai presiden, Soeharto cukup memerintahkan pembuatan seragam dan ikut campur soal desain maupun warna. Golkar dengan dominasi kuning bahkan sama sekali tidak terwakili dalam pemilihan warna seragam.
Cukup ditangani satu kementerian, Kemendikbud. Bisa dibayangkan jika melibatkan beberapa kementerian, pasti masing-masing memiliki kepentingan untuk memilih warna. Belum lagi jika melibatkan partai politik, pasti akan berlarut-larut.
Beda zaman Soeharto, beda pula Jokowi. Saat ini hanya untuk mengatur pemakaian seragam harus melibatkan tiga kementerian yang konon tergolong kementerian vital karena menyangkut keberlangsungan kehidupan bangsa. Apakah sedang terjadi politisasi pendidikan melalui seragam? Entahlah.
Yang pasti saat awal pencanangan seragam tak luput dari pro dan kontra. Bagi yang pro menyebut penggunaan seragam sekolah ini untuk menutupi kesenjangan sosial antarsiswa. Andai tidak ada seragam, maka siswa bakal berlomba-lomba memakai kostum sesuai kasta ekonomi orang tua.
Satu sisi, yang kontra menyebut, seragam justru menggambarkan pengebirian bepikir. Siswa seakan dipasung untuk merdeka dalam berpikir dengan simbol seragam saat sekolah.
Terlepas dari itu semua, keputusan ketiga menteri tersebut sangat sensitif untuk masyarakat Indonesia yang dikenal kental dalam kehidupan beragama. Bahwa agama mengajarkan untuk menjalankan tidak hanya di masjid atau musala, namun di segala aspek kehidupan termasuk sekolah.
Apakah itu berarti ketiga menteri tersebut kepekaan beragamanya rendah? Terlalu dini menyebut hal itu meski sebenarnya banyak hal yang harus mendapat perhatian selain soal seragam yang tergolong sepele.(*)