Prof. Dr. IM Hambali, M.Pd adalah Guru Besar bidang Ilmu Bimbingan Konseling (BK) Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Prof. Hambali berfokus pada topik tentang pembentukan skill kemandirian ekonomi, yakni “Membangun Kemandirian Perilaku Ekonomi Melalui Intervensi Komprehensif”.
“Tema yang saya angkat adalah membangun kemandirian ekonomi bagi remaja Indonesia. Kemandirian ekonomi itu ada dua pilar. Pertama pilar soft skill, kedua pilar hard skill,” ungkapnya
Menurutnya, selama ini hard skill sudah dipersiapkan dengan sangat baik. Hal ini karena di sekolah-sekolah, terutama SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) sudah cukup terlaksana. Sedangkan untuk soft skill, hanya dilaksanakan “sambil jalan saja”. Oleh karena itu, soft skill harus bisa ditingkatkan melalui intervensi komprehensif.
Baik di sekolah formal maupun non formal.
“Agar hard skill yang diperoleh oleh lulusan SMA maupun SMK itu bisa ditunjang oleh kekuatan soft skill yang dimiliki,” kata Hambali
Hambali menjelaskan, soft skill dibagi menjadi tujuh. Pertama multicultural (Multicultural skill), yakni seorang siswa bisa memahami, mengenal dan memaklumi budaya orang lain dan sekaligus menjadi suatu garis besar upaya membina hubungan harmonis dengan sesama.
Kedua adalah pro sosial (keterampilan peduli sosial), yakni siswa yang memiliki hard skill akan bisa melakukan tindakan nyata yang didasari oleh kemampuan psikologis. Artinya nilai pada diri seseorang untuk dapat memilih hidup dalam kelompok sosial, memahami bahwa siswa penting untuk bertindak secara moral, menjaga kebenaran orang lain dan membantu masyarakat untuk berkreasi dalam dunia dimana mereka senang hidup bersamanya.
Ketiga keterampilan interpersonal skill, merupakan kemampuan siswa untuk berkolaborasi, kerja sama, dan komunikasi antar sesama. Kemudian karakter kejujuran, seorang siswa harus dibangun sifat jujur yang didasari oleh kesadaran dirinya sendiri.
Kelima keterampilan manajemen emosi, lalu keterampilan berkomitmen, dan terakhir karakter keuletan.
“Keuletan adalah soft skill tidak mudah putus asa, dan tangguh.
Ibaratnya jatuh 11 kali, bangun dan bangkit 12 kali. Tujuh itu harus dimiliki dan dibangun dengan selaras, serta seimbang dengan hard skill yang dibangun,” tandas Hambali
Dirinya melanjutkan, selama ini sekolah hanya sesekali menyelaraskan antara hard skill dengan tujuh soft skill tersebut. Oleh karena sangat perlu ditingkatkan kembali oleh sekolah-sekolah formal melalui intervensi komprehensif secara sistematis. Mengingat hard skill tidak akan banyak berarti tanpa dibarengi adanya Kemampuan soft skill.
“Sebenarnya kurikulum pendidikan kita sudah baik. Hanya saja dalam implementasinya, terutama para pengambil keputusan itu harus benar-benar mengawal soft skill yang harus dikembangkan, ditanamkan, dan dibangun. Learning to be, agar siswa bisa menjadi seorang yang memiliki soft skill tujuh tadi,” tuturnya
Disinggung masalah implementasi tujuh soft skill, Prof. Hambali mengungkapkan bahwa pendidikan soft skill pertama-tama harus dilakukan dari rumah atau keluarga saat usia dini. Soft skill yang sudah terbentuk dari lingkungan keluarga, kemudian harus dikawal dalam pendidikan formal. Hal ini agar tujuan pembentukan soft skill tersebut menjadi lebih jelas.
“Awalnya semua dari rumah, dan dikawal oleh pendidikan formal. Tanpa itu, memang bisa diciptakan dari rumah.
Tapi kalau tidak didorong oleh pendidikan formal, nantinya soft skill itu untuk apa menjadi tidak jelas,” tambah Hambali
Terakhir dirinya berpesan kepada para tenaga pendidik. Terutama bagi tenaga pendidik yang ada disekolah-sekolah formal, mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, supaya menjadikan soft skill sebagai bagian yang harus dibangun kepada para siswa dengan berbagai macam metode dan instrumen. (was)