Pojok Literasi, IP – Masyarakat suku Tengger di Desa Tosari masih mampu mempertahankan adat dan ritual-ritual wajibnya. Suku Tengger sendiri memiliki adat dan kebudayaan yang bermacam-macam.
Berbagai rangkaian upacara dan kegiatan adat lain telah dilaksanakan sejak zaman leluhur, dan hingga kini masih terus serta wajib dilakukan. Seperti upacara pernikahan, dan upacara kematian.
Upacara kematian pada masyarakat Tengger dilakukan dengan berbagai tahap yang memakan waktu cukup lama. Berbagai ritual dilakukan dengan urutan yang telah ditentukan. Upacara kematian pada masyarakat Tengger ini dinamakan upacara Entas-entas.
Entas-entas sendiri bermakna “entas” atau mengangkat. Barangkali ruh tersebut di alam kematian mendapat tempat yang kurang baik. Maka dengan adanya upacara ini, ruh tersebut diangkat atau dientas. Kemudian ditempatkan ke tempat yang lebih baik.
Seperti halnya masyarakat Hindu yang berada di Bali yang melaksanakan Ngaben sebagai upacara kematian, masyarakat Hindu di Tengger pun melaksanakan upacara kematian yang serupa.
Perbedaannya terletak pada prosesi pembakaran. Masyarakat Hindu di Bali membakar jasadnya secara langsung, sedangkan masyarakat Hindu di Tengger menggunakan boneka sebagai simbol dari jasad tersebut.
Baca Juga: Situs Srigading: Bukti Malang Punya Peradaban Panjang
“Tanah Tengger merupakan tanah Hila-hila yaitu tanah yang disucikan sehingga tidak boleh membakar jasad dan jasadnya tetap akan dikubur,” ujar Eko yang merupakan seorang dukun atau tetua di wilayah Tosari, Tengger, (Sabtu, 19/3/2022).
Pada hari terakhir rangkaian upacara kematian, masyarakat Tengger melakukan pembakaran boneka Petra. Boneka Petra sendiri merupakan sebuah boneka yang digunakan oleh masyarakat tengger sebagai lambang dari orang yang telah meninggal tersebut.
Kata “petra” berasal dari kata “pitara” yang memiliki arti leluhur atau bisa dikatakan orang yang sudah meninggal.
Tidak sembarang orang yang boleh membuat boneka Petra. “Yang membuat boneka Petra itu orang tertentu, yaitu biasa dipanggil Pak Sepuh,” ungkap Eko.
Pak Sepuh atau wong sepuh adalah orang yang dituakan dan yang berwenang untuk membuat boneka Petra. Sebenarnya, semua orang boleh membuat boneka Petra, namun tidak semua orang memiliki wewenang atau diperbolehkan untuk melakukannya.
Selain itu, pembuatan boneka Petra juga membutuhkan doa-doa yang harus dilantunkan.
Tidak ada urutan khusus dalam proses pembuatan boneka Petra. Biasanya dibuat sendiri-sendiri mulai dari pembuatan badan dan wajah, kemudian pembuatan kaki.
Baca Juga: Rumah Literasi Candi Panggung, Inisiasi Pecinta Buku Ajak Tetangga Membaca
Boneka Petra dibuat serupa manusia, memiliki badan dan kepala. Serta dipakaikan kain atau pakaian. Pakaian yang digunakan untuk membungkus boneka Petra biasanya adalah pakaian milik orang yang sudah meninggal tersebut.
Boneka ini terbuat dari unsur-unsur alam, seperti daun-daunan dan bunga yang ada di wilayah Tengger.
Pembuatannya pun harus pada malam hari ke-7 atau sore hari sebelum hari ke-7. Kemudian pada hari selanjutnya, yaitu tepat hari ke-7 dilaksanakan upacara Ngeracut.
Upacara Ngeracut berarti pemisahan antara raga dan ruh. Menurut kepercayaan masyarakat Tengger, sebelum diadakannya upacara Ngeracut, orang tersebut belum tahu bahwa dirinya telah mati.
Pada pelaksanaan rangkaian upacara kematian masyarakat Tengger, boneka Petra berguna sebagai perantara atau simbol. Perantara untuk menghadirkan kembali ruh orang yang sudah meninggal tersebut, dan diturunkan pada boneka Petra.
Maka dari itu boneka Petra disebut sebagai simbol dari jasad yang akan disucikan dan kemudian dibakar.
Lalu, ritual selanjutnya yang digunakan pada boneka Petra adalah penyucian. Penyucian ini dilakukan oleh sanak saudara dengan cara menaburi kembang pada bonekanya.
Penyucian boneka Petra menggunakan bunga dan serta daun tertentu, di antaranya menggunakan daun tlotok, daun pampung, daun putihan, daun tleba, bunga kenikir, serta bunga edelweis.
Baca Juga: Rukun di Tengah Kemajemukan Beragama
Masyarakat Hindu di Tengger melaksanakan upacara Entas-entas ini untuk menyempurnakan kehidupan arwah yang ada di bumi dan di langit. Dengan menggunakan boneka Petra sebagai perantaranya.
Upacara Entas-entas pada masyarakat Tengger membutuhkan waktu sekitar 3 hari dikarenakan prosesinya yang panjang.
Setelah boneka Petra dibakar, abu dari boneka tersebut biasanya dilarungkan di air mengalir. Namun ada juga yang abunya hanya disiram. Intinya hanya agar abu tersebut larut dan mempercepat kembalinya unsur Panca Mahabhuta.
Panca Mahabhuta sendiri adalah unsur alam. Menurut kepercayaan masyarakat Tengger, jasad manusia terdiri dari 5 unsur yaitu tanah, api, angin, air, dan hawa.
Pada ritual pelaksaan upacara kematian ini dipimpin oleh seorang Dukun Pandita. Pelaksanaan upacara kematian pada masyarakat Tengger memiliki urutan dan pelaksanaan upacara yang berbeda setiap harinya.
Pembakaran boneka Petra ini terletak pada hari terakhir atau hari ke-7.
Masyarakat Tengger memercayai bahwa orang yang telah meninggal hanya badannya yang hilang. Sedangkan rohnya masih tetap ada.
Setelah dilakukan pembakaran boneka Petra pada upacara Ngeracut, di situlah seseorang yang telah meninggal akan menyadari bahwa dirinya memang telah mati. (tan).