“Oleh: Tim Tutur Desa, Kampus Desa Indonesia”
Inspirasi Pendidikan – Bangsa ini sangatlah kaya akan keanekaragaman pangan. Namun kekayaan alam tersebut seakan-akan tercerabut dari akar bangsa ini. Mayarakat lebih memilih untuk mendapatkan pangan secara instan dengan membeli tanpa kemudian mau melestarikan dan membudidayakan pangan tersebut. Hal inilah yang menjadi kegelisahan Abdullah Sam, penggagas dan penggerak Pesantren Rakyat Al-Amin Sumberpucung, Kabupaten Malang.
“Kalau mau sekarang ayok! Kita bisa manen terong atau bayam di belakang sana” ajaknya dan menunjuk area belakang gedung PAUD Al-Amin. “Kita bahkan bisa memanennya sampai satu kilo” jelasnya kepada peserta Tutur Desa, Jumat (08/09/2017).
Tim tutur desa yang sebagian besar mahasiswa, duduk melingkar bersama pria alumnus UIN Malang untuk mendengarkan cerita tentang pengalamannya. Ia menuturkan, sayur-sayur di kebun boleh diambil oleh semua warga yang membutuhkan. Gratis 100%, agar warga tidak perlu risau hanya untuk makan harian.
“Warga itu sebenarnya bisa mandiri dan makanan nggak usah import! Meski tidak memiliki lahan luas, kita bisa menggunakan polybag yang bisa kita letakkan di teras-teras rumah atau tempat sempit lainnya”, ungkap pria yang akrab disapa Cak Dul itu. Menurutnya, menanam sayuran secara mandiri dapat membantu mengurangi jumlah uang belanja harian yang dikeluarkan oleh warga. Mereka bisa memasak terong, setelah mengambilnya dari polybag depan rumah yang sudah mereka rawat.
Cerita penggagas Pesantren Rakyat itu membawa tim Tutur Desa mengingat beberapa bulan yang lalu, saat harga cabe dan sayuran melonjak naik. Saat itu banyak orang yang harus berpikir dua kali untuk mengonsumsi cabe, dengan uang lima ribu rupiah hanya bisa mendapatkan sekitar 15 butir cabe. Untuk itu, masyarakat harus menghitung dengan cermat sayur apa saja yang harus dibeli, agar tidak menguras uang bulanan. Apalagi untuk sarapan anak kos di kota yang begitu penuh perhitungan.
“Barangkali saya hidup di sini, di desa yang dikelola oleh orang-orang yang sadar bahwa kita bisa memproduksi makanan sendiri, mungkin sarapan saya akan menjadi mudah. Lebih mudah hidup di desa, dibanding di kota”, tutur salah seorang penulis Tim Tutur Desa.
Kemudian ia bercerita beberapa temannya yang mungkin lebih suka makanan instan seperti mi setan dibanding nasi campur. Lebih suka makan-makanan cepat saji. Itu semua bukan karena mereka butuh, melainkan pengaruh kata “hits” dan gengsi yang membelit. Pada akhirnya, tiap akhir bulan, di mana dompet menjadi semakin tipis, anak-anak kos yang sebagian besar mahasiswa itu kembali ke warung. Menyapa ibu warung dengan ramah dan memesan tempe mendol atau sayur tewel.
“Kami, para anak kos yang hidup di perkotaan sana benar-benar harus kembali menjadi orang desa. Hidup sederhana dengan kemampuan sendiri, bukan sok mewah mengikuti iklan-iklan tapi di waktu yang sama harus sakit kepala untuk sarapan saja. Menanam sendiri apa yang hendak kita makan, bukan membelinya di gerai-gerai modern milik perusahaan”, tutupnya. (Tim Tutur Desa/red)