ERA millenial, kesenian tradisional telah ditinggalkan bahkan generasi muda sekarang ini tidak mngenalinya. Simak kesenian tradisional khas Malang seperti Tari Malangan, Wayang Topeng Malang, Mocopat Malangan, Wayang kulit Malangan, Bantengan Malangan dan Jaran Kepang Dor Malang. Beruntung masih ada beberapa seniman yang masih mau dan peduli melestarikannya.
Adalah Padepokan Mangun Darma yang beralamatkan di Jl Raya Mangun Darma RT 28 RW 3 Dusun Kemulan, Desa Tulus Besar, kecamatan Tumpang, Kab Malang dengan Ki Soleh Adi Pramono sebagai pengasuhnya. Selama 29 tahun, laki-laki yang pernah menjadi dosen tari di IKIP Malang (sekarang UM) masih konsisten mengajarkan seni trdisional khas Malang tidak hanya untuk anak-anak dan remaja tetapi juga orang tua dari dalam dan luar negeri kemudian mementaskan bahkan mendokumentasikan.
Saat bulan purnama misalnya, Ki Soleh menggelar acara bertajuk Padhang Bulan dengan mengajarkan tembang Macapat sebagai identitas masyarakat Jawa, kususnya Malang. “Mulai pukul 20.00 hingga tengah malam, kita bersama-sama nembang Macapat. Setelah melewati pukul 24.00, dilanjutkan keluar ke halaman memandang bulan bersama-sama. Nenek moyang kita dulu, setiap malam bulan purnama memanjatkan doa atas keinginannya, kemudian bersuci dengan mandi. Meski kami tidak melaksanakan mandi setelahnya, kita lanjutkan dengan ritual,” ungkap Soleh.
Tidak hanya tembang Macapat, dalang asli Malang kelahiran 31 Agustus 1951 tersebut, juga mengajarkan tari topeng khas Malang sekaligus membuat topeng. Sebab keahliannya dalam sejarah tari khas Malang, didukung kemampuan menata koreografi tari yang mumpuni, serta produktivitas dia menciptakan karya, menjadikan tari topeng khas Malang dikenal sebagian besar negara di dunia. Bahkan Cerita Panji yang kerap diangkat dalam tari topeng, sejak September 2017 diakui menjadi warisan budaya tak benda oleh UNESCO.
“Cantrik (murid laki-laki) dan Mentrik (murid perempuan) disini tidak hanya dari Malang Raya. Dari luar kota ada, luar provinsi juga, bahkan dari beberapa dari mancanegara. Nah, jika orang luar saja peduli dan tertarik kepada budaya kita, mengapa kita tidak? Bahkan setiap Padhang Bulan, kami selalu mengundang dinas kebudayaan Kabupaten Malang, namun nihil tidak pernah hadir,” kata alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta itu.
Materi tentang teori dan praktek Tari Malangan, Wayang Topeng Malang, belajar menjadi dalang wayang Malangan, Mocopat Malangan, kerajinan topeng Malang, Jaran kepang dor Malangan dan Bantengan Malang rutin dipelajari oleh berbagai kalangan yang datang ke Padepokan Seni Mangun Darma.
Demi menunjang perjuangannya menjaga eksistensi seni tradisional khas Malang, belasan buku telah diterbitkan, beberapa sebagian masih dalam proses terbit. Buku pertamanya berjudul Wayang topeng Malang ditulis bersama Prof. Hendri Suprianto pada tahun 1987. Pada tahun 1994 karyanya berjudul Wayang Kulit Malang lakon Sesaji Rojo Soya terbit.
Selang cukup lama tidak menulis buku, pada tahun 2004 Ki Soleh menceritakan perang Kanjuruhan dengan Turyanta pada salam buku berjudul Paseban Cikal Bakalipun Kuto Malang yang merupakan buku ketiganya. Lantas karya tulis ke empatnya diterbitkan oleh Balai Pustaka Jawa Timur pada tahun 2018 dengan judul Mocopat Malangan.
“Masih ada delapan draf buku yang siap cetak dan terbit sebenarnya. Ada Upocoro Jangkep Manten Puteri Malangan, Karawitan Malangan, Jaran Kepang Dor Malangan, Bantengan Malangan, Tari Beskalan Lanang, Upacara ruwatan serimbi limo, kumpulan naskah wayang topeng Malang dan Kerajinan topeng Malang,” urai pria yang pernah bekerja di Dinas Kebudayaan medio 1974 tersebut.
Cikal bakal berdirinya Padepokan Seni Mangun Darma berawal dari tahun 1800an bernama Padepokan Mangir didirikan buyutnya bernama Ki Sainten. Pada tahun 1911 – 1928 bernama Padepokan Tulus Ayu diasuh oleh buyutnya bernama Ki Rusman. Saat itu hanya mengajarkan seni tari topeng Malangan. Setelah buyutnya meninggal, Pak De dari Soleh meneruskan padepokan dari tahun 1928 – 1935 bernama Ki Tirto Winoto.
Pada masa penjajahan Jepang, tatanan ekonomi dan sosial berantakan, demikian pula dengan eksistensi padepokan. Pada tahun 1945 – 1960 Pak Safari yang merupakan Ayah dari Soleh melanjutkan padepokan, hanya saja tidak lagi mengajarkan seni tari, melainkan beladiri Pencak Silat.
“Saya belajar seni tari dari Pak De, kalau belajar dalang dari Kakek saya. Saat itu ingin sekolah seni namun gak ada biaya. Namun Bupati Malang Bapak Suwigno kala itu menyekolahkan saya, melalui dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) karena prestasi di Pramuka. Setelah lulus dari Konservatif Karawitan Indonesia surabaya (Kokar) Surabaya, saya wajib bekerja di kantor P & K Kabupaten Malang, sambil mengajar tari di sanggar Laras Budi Wanita, jl Kelud 51 Malang tahun 1974,” Soleh mengisahkan.
Pada tahun 1989 Ki Soleh menghidupkan kembali aktifitas padepokan yang telah lama tidur, dengan nama Padepokan Seni Mangun Darma.
“Setelah menyelesaikan pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta, saya berinisiatif menghidupkan padepokan sambil menjadi dosen di IKIP Malang. Harapan saya, semoga kesenian malangan khususnya mocopat akhirnya menjadi perlu menjadi kajian bersama,” pungkasnya. (doi)