Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim protes meski bahasanya melakukan klarifikasi bahwa Ujian Nasional (UN) tidak dihapus. Menurut Mas Menteri di akhir tahun lalu. UN tidak dihapus namun diganti jadi asesmen kompetensi. Dengan kata lain, bahwa bahasa yang tepat bukanlah menghapus UN, melainkan mengganti sistem UN.
Yang dihapus itu format per mata pelajaran mengikuti kelengkapan silabus daripada kurikulum.
Asesmen tersebut tidak dilakukan berdasarkan mata pelajaran atau penguasaan materi kurikulum seperti yang selama ini diterapkan dalam ujian nasional, melainkan melakukan pemetaan terhadap dua kompetensi minimum siswa, yakni dalam hal literasi dan numerasi.
Mas Menteri lantas menjelaskan yang dimaksud literasi bukan hanya kemampuan membaca, tetapi kemampuan menganalisis suatu bacaan, dan memahami konsep di balik tulisan tersebut. Sedangkan kompetensi numerasi berarti kemampuan menganalisis menggunakan angka.
Konsep yang diajukan Mas Menteri memang tidak memungkinkan jika dilakukan seperti saat UN. Jika konsep dasar UN untuk mencari standarisasi pendidikan secara Nasional, maka asesmen lebih pada lokalitas. Sangat dimungkinkan kemampuan siswa di sebuah tempat berbeda dengan siswa di tempat lain sehingga standar kelulusan pun juga berbeda.
Kelulusan tak lagi berstandari Nasional, namun sangat bergantung sekolah (baca guru,Red) yang tiap hari bertemu siswanya. Bagi sekolah yang secara umum rendah karena berbagai faktor latar belakang, outputnya berbeda dibanding sekolah yang memiliki siswa dengan kemampuan tinggi dalam menerima pelajaran.
Jika sekolah tetap menerapkan standar 7 misalnya walau kemampuan siswa sebenarnya di level 6, yang terjadi adalah banyak siswa yang seharusnya belum berkompeten dipaksakan lulus. Tentu saja citra baik bagi sekolah tersebut hanya bersifat sementara.
Tidak menutup kemungkinan sekolah jenis ini akan tidak mendapatkan siswa karena masyarakat bisa menilai kemampuan rata-rata siswa yang dipaksa lulus oleh sekolah bersangkutan.
Contoh mudah adalah siswa yang belum bisa menjawab 1+1=2 di sebuah tempat, kompetensinya tidak bisa disamakan dengan siswa yang bisa menjawab 1+1=2. Sebagai konsekwensi konsep ini, maka saat masuk perguruan tinggi siswa dari daerah yang memiliki kompetensi rendah tidak akan bisa masuk dan kalah dengan siswa yang daerahnya memiliki siswa dengan kompetensi tinggi. Hal ini disebabkan perguruan tinggi sudah melakukan standarisasi secara Nasional, tidak lagi berdasar lokalitas.
Dampak lebih jauh lagi, siswa yang memiliki kompetensi rendah dan tidak bisa masuk ke perguruan tinggi yang memberlakukan standarisasi Nasional, akan melanjutkan ke perguruan tinggi sesuai kompetensi mereka.
Selain akhirnya terjadi dikotomi perguruan tinggi standar Nasional dan standar regional atau bahkan lokal sekalipun, berdampak pula pada kualitas tenaga kerja.Bagi mahasiswa yang berasal dari standar Nasional pasti mendapat bekal lebih lengkap dibanding berstandar regional atau lokal. Begitu pun staf pengajar maupun sarana dan prasarana perkuliahan dipastikan berbeda sehingga tak heran perusahaan pasti menginginkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi berstandar Nasional.
Selain kecakapan atau kemampuan, faktor-faktor pendukung lain pasti lebih tinggi dibanding tenaga kerja dari perguruan tinggi berstandar lokal.
Bagaimana dengan kompetensi tenaga kerja Indonesia beberapa tahun mendatang di tengah dunia global yang tidak lagi memasuki 4.0 namun mulai 5.0, bahkan sebagian negara sudah ada di gerbang 6.0?(*)