Di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim, Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) banyak membuat terobosan-terobosan yang mungkin terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah program Sekolah Penggerak yang sedang ramai dibicarakan. Bagaimana program Sekolah Penggerak di mata pakar atau pengamat pendidikan?
Untuk mengetahui topik itu, Inspirasi Pendidikan mengkonfirmasi kepada Prof. Ir. Hendrawan Soetanto. M.Rur. Sc., Ph.D. Dia adalah seorang Staf Ahli Wakil Rektor 1 Bidang Akademik Universitas Brawijaya Malang, sekaligus Tim Pengembang Kurikulum Pendidikan Tinggi, Belmawa (Pembelajaran dan Kemahasiswaan), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud.
Menurutnya, program Sekolah Penggerak merupakan bentuk respons untuk menghadapi masalah pendidikan di Indonesia. Memang dalam hal fasilitas, pendidikan tidak mengalami perbedaan antara kondisi dulu dengan sekarang. Namun, masalahnya adalah pada diri pemimpin atau kepala dari sebuah Instansi Pendidikan.
“Dalam hal ini adalah Kepala Sekolah (Kepsek), dengan ide tentang Sekolah Penggerak diharapkan sekolah itu dapat menjadi semacam percontohan untuk menggerakkan sekolah-sekolah lain. Karena di situ telah terjadi perubahan mindset yang sudah dilakukan, sehingga sekolah ini akan menjadi penggerak, dan menjadi inspirasi bagi guru-guru dan kepala sekolah,” tambahnya
Hendrawan mengungkapkan bahwa program Sekolah Penggerak menjadi salah satu sub program dari program besar yakni Merdeka Belajar yang sedang dikembangkan oleh Kemendikbud. Dengan ciri-ciri program Sekolah Penggerak yakni adanya guru dan siswa yang aktif bertanya, melakukan percobaan dan terus berkarya.
Hendrawan menuturkan karakteristik dari Sekolah Penggerak juga memiliki Kepsek yang mengerti proses pembelajaran siswa, dan juga mampu mengembangkan potensi guru. Peranan dari Kepsek akan menjadi sangat vital. Karena itu, program ini bakal menjadi filter pemerintah untuk menyaring individu-individu yang bisa menjadi sosok penggerak.
“Intinya, jika selama ini “mungkin” pemilihan kepsek tidak berdasarkan kompetensi. Mendatang diharapkan dapat terjadi perubahan. Lalu ciri Sekolah Penggerak juga memiliki keberpihakan kepada siswa didik,” tambahnya
Artinya, Sekolah Penggerak memiliki guru yang mengerti bahwa setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda, sehingga perlu dikembangkan pola pembelajaran yang berbeda bagi setiap siswa. Dengan demikian diharapkan mampu melahirkan guru penggerak yang bisa membuat semacam inovasi atau terobosan, agar ketika mengajar, guru mampu menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
“Ketika semua itu berjalan maka Sekolah Penggerak mampu menciptakan profil siswa yang tidak hanya berakhlak mulia, mandiri. Tapi juga memiliki nalar yang kritis dan kreatif, saling bergotong-royong dan memiliki rasa kebhinnekaan,” ungkapnya
Dengan perkembangan pendidikan dan strategi pendidikan yang berubah-ubah dari masa ke masa, dirinya mengungkapkan saat ini kemampuan peserta didik masih jauh di bawah negara-negara lain. Hal ini didasarkan dari angka PISA (Programme for International Student Assesment).
“Lalu timbul pertanyaan apakah bangsa Indonesia memiliki kemampuan kognitif yang jelek, atau karena proses pembelajaran yang kurang tepat. Sedangkan berdasarkan penemuan dan bukti-bukti sejarah, kita merupakan bangsa besar yang berkualitas dan memiliki kapabilitas. Kesimpulannya, mungkin kita kurang tepat dalam hal proses pembelajaran,” tandasnya
Hendrawan kemudian menuturkan bahwa dengan proses pembelajaran yang kurang tepat, tentu hasilnya tidak akan sesuai dengan keinginan yang ingin dicapai. Kemudian akan berimbas pada pemilihan kepemimpinan yang ada di sekolah, yang selama ini tidak semuanya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.
“Oleh karena itu terobosan yang dicanangkan oleh Mas Menteri Nadiem ini, sebenarnya mengembalikan jadi diri sekolah itu seperti apa. Sekolah harus menjadi pusat dihasilkannya sumberdaya manusia yang hebat, karenanya sekolah harus dibimbing oleh orang-orang yang hebat,” ungkap Guru Besar Fapet UB iniTerkait dengan adanya dikotomi pendidikan, dirinya mengakui di awal program mungkin akan menciptakan dikotomi pendidikan antar-sekolah. Namun dengan melihat tujuan dari program Sekolah Penggerak, nantinya dikotomi pendidikan tidak akan lagi ada. Karena mendatang semua sekolah harus memiliki karakter sebagai Sekolah Penggerak.
“Justru ini nanti semua sekolah harus menjadi Sekolah Penggerak. Tidak ada sekolah yang diklasifikasikan mana Sekolah Penggerak dan bukan penggerak. Intinya dalam program ini akan merubah semua sekolah, agar memiliki karakter Sekolah Penggerak. Tidak akan terjadi dikotomi sepanjang kita semuanya sepakat, untuk memiliki suatu pandangan yang sama,” pungkasnya. (was)