Semenjak akhir Oktober 2021, harga minyak goreng terus mengalami peningkatan. Hingga pada akhirnya mencapai harga 30.000 per liter dari pedagang pasar ke konsumen. Merespons hal ini, pemerintah melalui dinas perdagangan berupaya mengatur harga minyak secara nasional menjadi 14.000 per liter.
Lewat upaya yang dilakukan, harga nasional bagi minyak goreng dapat tercapai. Upaya penyaluran pun, tidak berpaku pada dinas-dinas terkait sebagaimana biasanya. Namun juga menggandeng pihak swasta, seperti halnya minimarket guna memudahkan penyaluran kepada masyarakat.
Berbicara dalam penyalurannya, ada hal yang menarik untuk dikritisi. Berdasarkan penuturan salah seorang kepala bidang dari dinas terkait yang dimuat dalam sebuah media online, dikatakan jika akan diadakan pasar murah khusus minyak goreng.
Baca Juga : Cukai Rokok Naik 12,5 Persen
Lebih lanjut dijelaskan, dalam pasar murah ini akan dijual minyak goreng dengan harga 14.000 per liter dengan ketentuan setiap orang hanya boleh membeli maksimal dua liter. Akan tetapi, realita di lapangan menjadi berbeda.
Pihak penyelenggara mewajibkan pembeli harus membawa 6 lembar fotokopi KTP yang berbeda. Untuk kemudian diizinkan membeli satu kardus berisi 12 bungkus minyak goreng dengan volume 1 liter per bungkus. Bagi yang tidak membawa 6 lembar fotokopi KTP, dipersilakan untuk bergabung dengan orang lain hingga mencapai jumlah 6 lembar fotokopi KTP.
Hal itu kembali menimbulkan pertanyaan terkait sifat elektronik dalam E-KTP. Bila memang sudah elektronik dan di dalamnya berisi chip, mengapa fotokopi KTP masih menjadi syarat dalam berbagai urusan terkait birokrasi?
Baca Juga :Â Lengo Kletek
Lebih lanjut terkait keadaan di lapangan. Di tengah bayang-bayang Covid-19 varian Omicron, dalam hemat saya pengumpulan massa dalam bentuk apa pun merupakan suatu tindak kecerobohan. Apalagi bila itu dilakukan oleh pihak berwenang. Menurut hemat saya, akan lebih baik bila dilakukan pendataan melalui kecamatan hingga tingkat RT/RW untuk mendata berapa orang yang mau membeli.
Kemudian untuk pendistribusian dapat dilakukan secara parsial, bisa tiap RT maupun RW. Itu bila dinas terkait bersikukuh untuk menyalurkan secara langsung, sehingga tidak akan terjadi konsentrasi massa yang besar pada satu titik saja.
Selain itu, pemerintah sebenarnya juga telah menggandeng banyak pihak swasta untuk penyaluran minyak murah kepada masyarakat. Sehingga tindakan ini lagi-lagi mengundang pertanyaan terkait maksud dan substansinya.
Baca Juga :Â Melalui Klinik Bisnis, Diskopindag Kota Malang Ingin Kembangkan UMKM
Ditambah lagi, mekanisme yang digunakan memiliki banyak celah untuk disalahgunakan. Berdasarkan pengamatan dan obrolan yang dilakukan, banyak pihak yang bertukar KTP agar dapat memenuhi jumlah 6 fotokopi KTP.
Sehingga ketentuan satu orang maksimal dua liter seakan hanya menjadi formalitas belaka. Ini tentunya menjadi ironi, ketika pemerintah membuat suatu peraturan kemudian pemerintah juga yang memberikan celah untuk melanggar aturan yang telah dibuatnya.
Minyak memang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, sehingga rantai produksi dan distribusinya memang perlu pengawalan agar kebutuhan masyarakat tidak terganggu. Melalui kebijakan harga nasional minyak goreng, pemerintah sejatinya telah menunjukkan kehadirannya dalam mengatasi kenaikan harga minyak goreng di tingkat ritel. Serta dengan penggandengan pihak swasta untuk distribusi, semestinya dinas-dinas terkait tidak lagi perlu ikut mendistribusikan.
Baca Juga :Â 29.347 Pelajar SMP di 97 Sekolah Kabupaten Malang Dapatkan Rekening Pelajar
Dibandingkan ikut mendistribusikan, saya rasa lebih baik bila dinas terkait melakukan pemantauan untuk memastikan informasi sampai kepada masyarakat dengan baik dan tidak terjadi kelangkaan minyak goreng di jalur distribusi.
Bisa jadi, masih banyak masyarakat yang salah persepsi dengan menganggap harga minyak goreng 14.000 ini merupakan promo dari distributor maupun produsen minyak goreng.
Sehingga memanfaatkan dengan melakukan pembelian dalam jumlah besar baik untuk dijual kembali ataupun guna memenuhi kebutuhan sendiri.
Bila hal ini dibiarkan terjadi dalam jumlah masif, justru akan terjadi kelangkaan dan penimbunan sebagian pihak atas minyak goreng. Hal tersebut tentunya kontra produktif dengan upaya pemerintah membuat kebijakan harga nasional minyak goreng. (Satrya).