Virus Corona sudah menyebar di 34 provinsi di Indonesia selama dua tahun lebih kemarin. Ribuan orang meninggal dunia di Indonesia karena terkena virus yang berasal dari Cina itu. Pandemi virus Corona (Covid-19) sangat berdampak kepada aktivitas yang ada. Di Indonesia, dampak virus tersebut sangat berpengaruh pada berbagai sektor. Salah satunya adalah sektor pendidikan.
Peran Orangtua
Selain mutu guru, pembelajaran daring masa pandemi menyisakan persoalan besar. Perhatian orang tua kepada anaknya yang sedang menimba ilmu di sekolah, harus bergeser justru menjadi “guru” di rumah. Ini berarti bahwa fungsi guru selama masa pandemi dilaksanakan oleh orang tua. Padahal selama ini perhatian orang tua terhadap perkembangan pembelajaran siswa tergolong minim. Orang tua seolah memasrahkan secara total perkembangan pendidikan anaknya kepada sekolah.
Kecenderungan untuk bersikap “masa bodoh” terhadap pendidikan anak makin meningkat saat orang tua sudah disibukkan dengan pekerjaan. Orang tua memantau perkembangan pendidikan anak hanya dalam sekali tempo saja. Itupun hanya berdasarkan angka-angka yang diberikan guru di sekolah yang tertera di raport.
Inilah yang menyebabkan peran orang tua di sekolah anak hanya bersifat insidental. Berkenan datang ke sekolah atas undangan pihak sekolah dikarenakan akan membahas suatu hal. Beban semakin berat tentu diemban pihak sekolah sebagai konsekuensi dari sikap orang tua kurang berperan terhadap pendidikan anak.
Pada masa pandemi, peran orang tua menjadi sentral dalam pembelajaran daring. Guru seolah “tidak berdaya” dalam masa pandemi untuk mewujudkan tujuan pembelajaran sepenuhnya. Fungsi orang tua menjadi utama dalam melakukan kontrol pembelajaran daring dari rumah.
Kognitif Sentris
Sistem daring disinyalir makin mengutamakan pembelajaran yang mengarah kepada kecerdasan kognitif. Sedangkan kecerdasan spiritual, kecerdasan social dan keterampilan dari siswa, kurang diperhatikan. Para guru dalam melakukan pembelajaran dan tugas yang diberikan lebih mengarah kepada kognitif-sentris.
Hal ini dapat dimaklumi karena keterbatasan interaksi yang dilakukan siswa dengan guru. Melalui media berbasis internet, sebenarnya pembelajaran di musim pandemi akan mengurangi substansi dari makna pendidikan itu sendiri.
Baca Juga :
Kreativitas Media Pembelajaran Bahasa Inggris
Pameran Karya Pembelajaran, Dorong Motivasi Guru Berinovasi
Wahyu Mangun Kusuma, Langganan Prestasi Nasional Bidang Matematika
Pembelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa Saat Pandemi, Oleh : Dr. Imam Mutasim, M.Pd
Taksonomi Bloom (1999) menunjukkan bahwa ketiga ranah dari siswa, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik, ketiganya harus dikembangkan secara seimbang. Namun, pembelajaran di musim pandemi Covid-19 masih “menganaktirikan” untuk proses pengembangan afektif dan psikomotorik. Mekipun kurikulum juga disesuaikan dengan lahirnya “kurikulum darurat” selama masa pandemi, kondisi riil di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan itu masih sebatas hitam di atas putih.
Dalam konteks pembelajaran, seharusnya kurikulum diorientasikan kepada perkembangan ketiga ranah tersebut melalui pembelajaran siswa secara mandiri. Fungsi kurikulum yang strategis ini harus dipahami oleh guru dengan baik dan benar. Sehingga ketika melakukan pembelajaran, guru tidak hanya menyuruh siswa untuk menghapalkan materi pembelajaran yang baru. Tetapi dengan pemahaman terhadap kurikulum yang baik, guru akan mampu membimbing pengalaman dan aktivitas siswa serta membantu perkembangan siswa dalam beradaptasi dengan lingkungan.
Sistem evaluasi yang digunakan setidaknya juga memberikan justifikasi terhadap orientasi kurikulum yang terpusat kepada perkembangan kognitif. Butir-butir soal dalam ujian mayoritas berbentuk pilihan ganda. Kondisi ini telah menyebabkan kemampuan siswa kurang berkembang dalam menganalisis substansi soal dan mengelaborasi potensi yang dimiliki.
Meski membutuhkan waktu yang relatif lebih sedikit untuk mengoreksi dari pada bentuk esai. Namun bentuk pilihan ganda hanya mampu mengukur kemampuan siswa dalam memahami dan menyimpan memori dari materi yang telah diajarkan guru. Bukan pemahaman terhadap substansi materi itu sendiri, sehingga hal ini menyebabkan kualitas output semakin dipertanyakan.
Siswa dalam implementasi Kurikulum 2013, lanjut Masykuri Bakri (2013), bukan gentong kosong yang harus diisi “cerita teori” dari guru. Tetapi siswa adalah sosok yang sudah memiliki potensi. Jawaban dari siswa semuanya tidak boleh disalahkan. Namun dibenarkan semuanya asal disertai dengan jawaban rasional.
Siswa harus ditagih setiap saat untuk produktif berkarya melalui portofolio. Guru harus termotivasi untuk terus berkarya menulis. Implementasi Kurikulum 2013 menuntut kreativitas dari guru dan siswa, sehingga guru memiliki banyak inovasi dalam proses pembelajaran. Ini adalah pendekatan saintifik yang meliputi sistematis, objektif dan empiris.
Mutu Guru
Pada musim pasca-pandemi, peran guru makin terasa urgensinya. Nilai-nilai edukatif yang selama ini ditransformasikan di sekolah ternyata tidak bisa didongkrak melalui pembelajaran daring. Pembelajaran sikap dan pembentukan karakter siswa di sekolah tidak bisa digantikan dengan pembelajaran daring dari rumah.
Kehadiran guru di sekolah yang berinteraksi langsung dengan siswa mutlak diperlukan. Interaksi edukatif yang dilakukan guru dengan siswanya akan membelajarkan sikap dan nilai kepada siswa. Hal ini tidak bisa digantikan oleh kecanggihan teknologi apapun. Terlebih hanya bermodalkan pembelajaran daring.
Guru harus menjadi teladan bagi muridnya. Segala sikap, tingkah laku dan perbuatannya diharap menginspirasi dalam mengukir jiwa dan watak anak didik. Sehingga layak digugu dan ditiru, diperhatikan kata-katanya dan ditiru perbuatannya. Posisi ini makin dipertegas ketika pandemi Covid-19 berlalu dari Indonesia.
Masa pandemi menyadarkan banyak pihak untuk berbenah di dalam dunia pendidikan. Terutama dalam tiga hal yang dibahas pada tulisan ini, yaitu partisipasi orang tua yang masih rendah, kurikulum yang masih kognitif-sentris dan mengutamakan mutu guru.*