“Dunia jahat dan kau kalah? Lihatlah telapak tanganmu. Ayah selalu menempa tangan itu agar tak menyerah. Ibu tak henti memapah tangan itu untuk berdoa. Bangkitlah” (Halaman 31)
Adalah Zenna gadis berwajah tegas dan rambut bergelombang tinggal di punggung Gunung Singgalang bersama keluarganya. Sebagai anak tengah dari sebelas bersaudara, Zenna sudah terbiasa naik-turun gunung bersama kelima adik-adiknya mengangkut berember-ember air untuk keperluan ia dan keluarganya. Tak hanya itu, untuk sekolah pun Zenna harus menuruni gunung sambil membawa jagung rebus untuk dijual. Dengan sepatu rombeng hasil warisan lima kakaknya, Zenna tetap giat dalam mewujudukan segala citanya.
Baca Juga:
Tabur Tabir Rona-Rona Teka-Teki
“Nanti kalau tamat SMA, Abak belikan sepatu baru di kota” Janji abak pada Zenna sebelum berangkat ke sekolah. Tentu saja kalimat itu berhasil membuat berisik hutan bambu di Gunung Singgalang berubah menjadi syair indah. Lebih merdu dari rabab yang sering Zenna dengar di pesta-pesta adat. Lebih rancak dari nyanyian artis-artis kampung.
Namun, janji abaknya tak dapat ditunaikan. Abak pergi meninggalkan Zenna dan keluarga untuk selamanya. Sebagai anak tengah yang jarang mendapatkan perhatian, Zenna menumpahkan segala kesedihannya pada dirinya sendiri. Dia bertekad untuk dapat menunaikan janji abaknya. Untuk itu, dia bekerja keras dengan mandiri untuk bisa membelikan sepatu untuk dirinya sendiri.
Sementara itu, di punggung gunung yang lain, kehidupan di punggung Gunung Marapi tidak jauh berbeda. Asrul dan adiknya, Irsal, harus membantu umi untuk bisa bertahan menghidupi diri. Pasca bapaknya menikah lagi, Asrul, Irsal dan umi tinggal di rumah peninggalan orangtua umi. Sedangkan Bapak tinggal di rumah dengan istri keduanya.
Bapak tidak selalu memberi uang pada Asrul dan keluarganya, meski kadang memberi itu pun tidaklah cukup. Asrul selalu mengintip isi dompet bapak setiap bapak memberinya uang. Di dalam dompet tersebut terselip sepotong kecil kayu manis. Jual beli kayu manis adalah usaha bapak yang paling banyak menghasilkan uang. Mungkin karena itulah bapak selalu menyelipkan sepotong kecil kayu manis di dompetnya.
Bagi Zenna dan Asrul, bermodalkan tekad yang kuat sudah merupakan hal luar biasa untuk mereka yang hidup diselimuti kemiskinan. Pada pundak keduanya terdapat beban harapan yang menuntut Zenna dan Asrul untuk tetap tabah dan kuat dalam menjalani hidup. Zenna ingin membantu abak untuk memenuhi janji yang belum sempat tertunaikan. Ia juga berupaya sekuat tenaga untuk bisa membantu umak (ibunya) membiayayai pendidikan kelima adik-adiknya. Zenna ingin adik-adiknya kelak memiliki masa depan yang gemilang, tak terbayang jika adik-adiknya putus sekolah dan rantai kemiskinan tetap menghantui keluarganya. Sedangkan Asrul, ia bercita-cita untuk dapat membelikan umi tempat tinggal yang layak dan mampu membawa umi ke tanah suci Mekkah. Asrul ingin menjadi anak yang berbakti seperti Uwais Al-Qarni yang pernah umi ceritakan sebelum Asrul dan Irsal tertidur.
Lika-liku perjalanan membuat Zenna dan Asrul bertemu. Koran Harian Semangat yang menjadi perantara munculnya tekad Zenna dan Asrul untuk berkuliah turut merekatkan hubungan mereka. Kuliah sambil bekerja mereka lalui proses itu dengan tabah. Hingga keduanya menikah pun kehidupan mereka tidak serta merta berubah menjadi lebih mudah. Banyak rintangan demi rintangan yang tak henti-hentinya turut hadir dalam kehidupan mereka. Dengan ikhtiar yang tak pernah pudar, serta doa-doa yang selalu umak dan umi langitkan, perlahan demi perlahan apa yang menjadi harapan besar Zenna dan Asrul dapat terwujud.
Buku ini sangat cocok untuk dibaca remaja ataupun dewasa karena memuat arti kekeluargaan, kegigihan dan tanggung jawab yang mampu menginspirasi pembaca. Kisah tentang Zenna dan Asrul pun sebenarnya terinspirasi oleh kehidupan kedua orang tua penulis sehingga lembar demi lembar ceritanya seolah-olah hidup dan sangat menyentuh hati pembaca. Cara penulis menyajikan alur kisah dengan berbagai sudut pandang. Mulai dari pandangan Zenna, Asrul dan anaknya, Joven, membuat kita dapat merasakan pahit manis yang dilalui oleh ketiga tokoh tersebut sehingga kita dituntun untuk tidak mudah menghakimi salah satu tokoh yang tersemat di dalam cerita tersebut.
Buku ini juga dikemas dengan apik mulai dari segi kebahasaannya, alur cerita dan cara Jombang Santani Khairen menampilkan sebuah quotes yang tersemat pada setiap babnya. Hanya saja terdapat beberapa kosakata daerah yang belum diterjemahkan, akibatnya pembaca harus mencari tahu terlebih dahulu kosakata tersebut sebelum melanjutkan isi bacaan. Selain itu, penjelasan mengenai kehidupan beberapa tokoh dalam novel tersebut masih kurang. Akan tetapi terlepas dari kekurangan tersebut, bingkai kesempurnaan tetap dapat dirasakan dari novel ini. Baca konten versi cetak di Tabloid Inspirasi Pendidikan Edisi 113