Sore itu mendung gelap sehingga seolah-olah seperti sedang menyongsong Maghrib. Gus Agus masih tetap santai di atas bangku panjang dengan segelas teh tawar yang mulai menghangat di depannya. Bukan karena tidak takut tiba-tiba hujan turun, namun pengalaman hidupnya membuktikan, tidak selalu mendung gelap berbuah hujan. Bahkan saat matahari bersinar pun sesekali mengejutkan manusia dengan turunnya rintik air dari atas.
Diangkatnya gelas untuk disentuhkan ke bibirnya. Ketika matanya terpejam untuk menikmati sesapan teh yang sebentar lagi memasuki mulut dan menerobos tenggorokan, tangannya tiba-tiba tersentak dengan cepat menyentuh bibir gara-gara suara menggelegar yang mengejutkan. Memang tidak terlalu dekat. Hanya karena diteriakkan dengan sekuat tenaga, maka suara yang keluar seperti teriakan orang yang memergoki pencuri.
“Woiii….sing ulang taun kok adem ayem ae!”
Tanpa menengokpun Gus Agus tahu itu suara Cak Bogang. Mata yang terpejam itu otomatis terbuka. Tak ada lagi detik-detik menikmati teh tawar akibat terganggu ulah Cak Bogang. Rasa jengkellah yang akhirnya hadir sehingga Gus Agus tak mengindahkan teriakan tersebut. Teh hangat itupun meluncur tanpa prosesi. Setengah gelas langsung diteguknya.
“Kok sepi-sepi ae, gak ono acara tah iki?” tanya Cak Bogang yang langsung meletakkan pantatnya di depan Gus Agus.
Gus Agus paham dengan yang dimaksud Cak Bogang. Hanya karena masih jengkel maka hanya matanya yang melirik sekejap sebagai jawaban. Setelah itu kembali tangannya memegang gelas teh tawarnya.
“Waduh…ngono ae purik,” rajuk Cak Bogang yang dilanjutkan dengan ungkapan maaf sambil memamerkan gigi berspasinya, “Sepurane lek mau kaget, hehehe…”
“Ulang tahun iku momen sing pas gae evaluasi diri. Wis gak wayahe seneng-seneng. Koyok arek TK ae,” akhirnya Gus Agus merespon setelah mendengar permintaan maaf Cak Bogang.
“Wajar tah lek ulang tahun seneng-seneng sebagai rasa bersyukur,” Cak Bogang mengeluarkan argumentasinya.
“Justru rasa bersyukur iku ditunjukkan dengan ndelok kelakuan awake dewe sing elek-elek tahun-tahun wingi diganti karo kelakuan positif tahun ngarep. Lek sik gak berubah, opo yo ngono iku sing diarani bersyukur?”
“Wong lak dewe-dewe a carane bersyukur. Awakmu gak oleh ngelek-elek wong sing seneng-seneng pas ulang tahun.”
“Sak karepmu Cak,” kata Gus Agus bernada pasrah. Kemudian dilanjutkan dengan rendah, “Wong ngomong evaluasi diri kok nggladrah diarani ngelek-elek. Masiyo gak nggelek-elek, asline yo wis elek.”
“Aku a sing elek?” tanya Cak Bogang yang kemudian dijawab sendiri, “Wis suwe.” (Noordin Djihad)