Biodata
Nama: Siti Fadilah
Guru SMAN 1 Kepanjen
“ Merdekaa…! Merdekaa…!” pekik merdeka bersahutan ketika peserta pertemuan memasuki sebuah rumah kecil di sudut gang. Di dalam sudah duduk bersantai beberapa orang pria yang sudah sangat tua dan renta. Mereka dulu adalah pemuda-pemuda yang gagah berani bergerilya mengorbankan jiwa dan raga untuk bangsa.
Ternyata pertemuan ini merupakan pertemuan generasi yang menuju kepunahan, generasinya para veteran perang kemerdekaan .
“Piye kabare.. Mas Naryo ?“ tanya lelaki yang baru datang.
“Ya…masih tetap pincang…!” jawab laki- laki tua dengan badan yang masih tegap sambil berseloroh. Semua yang hadir pun tertawa.
“Mas Naryo sebenarnya nggak pincang…hanya bumi yang tidak rata, Mas..!” seloroh salah satu peserta. Makin riuhlah suasana pertemuan itu.
“Mas, foto yang di dinding itu fotonya Mas Naryo tempo dulu ya?” tanya salah seorang yang disusul dengan pujian, “Wah..ngguaantheng banget koyo bintang pilem!”
“Dia anakku yang paling kecil!” kata lelaki yang dipanggil Mas Naryo.
Setelah mengambil napas dan menghembuskan dengan panjang, dia melanjutkan, “Anakku empat tak ada yang mau jadi tentara. Hanya satu yang mau meneruskan perjuangan bapak’e, ya ini…yang paling kecil!”
Matanya masih menatap foto yang terpampang di dinding.
“Sekarang sudah jadi letnan kolonel di Jakarta!“ katanya tak bisa menyembunyikan kebanggaan.
Kalau berbicara tentang anaknya ini dia akan tampak berbinar dengan suara yang menggebu-gebu. Kadang tangannya sambil menunjuk ke dinding, tempat banyak foto terpampang seorang remaja dengan seragam tentara AD.
“Itu yang di atas waktu anakku pendidikan di Jogja. Nah, foto yang di sampingnya waktu di Bandung dan sekarang sudah di Jakarta jadi letnan kolonel!“ Suaranya sengaja agak dinaikkan dan dibiarkan menggantung dengan harapan ada yang bertanya tentang cerita selanjutnya. Ceritanya pun akan semakin memanjang dan melebar .
Pada saat dia sedang menunjuk-nunjuk foto- foto itu pada teman-teman sesama veteran, terdengar seseorang menyela ceritanya.
“ Mas Naryo foto sampeyan mana? Seharusnya fotonya Mas Naryo juga ada di samping foto anaknya, pakai seragam dan topi veteran serta bintang jasa yang Mas Naryo punya. Mas Naryo kan punya banyak!“
Mata tajam laki- laki yang dipanggil mas Naryo itu langsung menerkam ke arah Dulah karena berani menyela ceritanya. Ternyata ia mantan anak buah kesayangannya waktu di kesatuan dulu.
“Waduh, salah kata- kataku!“ sesal Dulah dan langsung menunduk tak berani menatap mata sang komandan.
“Walah Dul…Dul…,ngomong apa kamu? Siapa yang mau menghargai dan menghormati veteran seperti kita? Tak ada gunanya walaupun kita punya bintang jasa banyaknya segudang. Mereka hanya bisa berkoar- koar :’ Bangsa kita adalah bangsa yang besar karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya’..! Gombal…Gombal…amoh…! Mana buktinya haah? Mana…? Batu nisan yang baru datang kiriman dari pemerintah itukah?” teriak sang komandan.
“Itu ngaluup..!” matanya menatap tajam Dulah.
“Ngerti ngaluup kamu Dul? Sama saja itu dengan mendoakan kita para veteran cepat mati..! Ndang bongko..! Biar kita tidak menjadi beban Negara dengan membayar pensiun karena kita memang sudah tidak menghasilkan apa- apa. Betapa nelongsonya hati ini Dul,,Dul..!” napasnya tersengal karena kata- katanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Matanya mulai berkaca- kaca dan wajahnya terselimuti mendung.
Kekecewaannya mulai menyeruak…betapa dia dulu bergerilya, berjuang dengan anak buahnya, tanpa pamrih..tanpa pernah tau siang atau malam.. tanpa pernah tau bagaimana anak istri yang ditinggalkan.
”Masih ingatkah waktu kita berjalan kaki Malang-Pasuruan, Surabaya-Malang, menerobos mengendap-endap di kegelapan malam menembus barikade Belanda. Kamu ingat kan Dul?” Yang ditanya tidak berani menjawab. Dia semakin tepekur dan menyesal mengapa dia menanyakan tentang penghargaan dan bintang jasa sang komandan.
“Nasi sudah jadi bubur!” pikirnya. Kata-katanya sudah tidak bisa diralat, kerongkongannya terasa tercekat, air ludahnya pun terasa semakin deras mengalir sehingga dia berkali-kali hanya bisa menelan ludah.
“Kamu… Rohman,” tunjuk Mas Naryo kepada seseorang, “Apa juga masih ingat, ketika kamu dengan wajah pucat, lari terkencing-kencing, celana basah..ngompol tidak bisa ngomong apa pun selama berjam-jam. Linglung, dan hanya a..i….uu …a..i…uu…karena ketakutan ada patroli Belanda yang berhenti di gang depan rumahmu?”
“ Masih ingatkah ketika kita semua berendam di sungai berjam-jam dengan badan penuh lintah untuk menghindari jalan yang sering dilalui Belanda?” matanya bependar ke seluruh ruangan.
“Dan, lihat itu, patunge sopo?“ telunjuknya menunjuk ke pertigaan tempat sebuah patung dengan membawa bambu runcing yang setiap tanggal 17 Agustus dibersihkan dan dicat supaya kembali mengkilat.
“Itu patung e Si Bajuri! Teman kita sendiri yang ditembak Belanda di depan masjid sesudah salat Jumat!”
Semua yang hadir di pertemuan itu semakin diam. Masih segar dalam ingatan mereka bagaimana Bajuri yang bersarung plekat warna hijau dan berkaos oblong bersimbah darah. Dua lubang di dadanya ditembus peluru Belanda.
Pada waktu itu berita tertembaknya Bajuri, seorang pejuang begitu cepat menjalar dan menyebar ke pelosok desa. Tapi tak ada yang berani mengambil jenazahnya, karena Belanda terus mengawasi mondar-mandir untuk mencari Bajuri-Bajuri lain di daerah itu. Maka di bawah komando Sunaryolah mereka berhasil membawa jenazah Bajuri untuk dimakamkan, itu pun menunggu hari di ambang gelap.
“Nanti menjelang malam, sehabis magrib kalian berempat bergerak cepat dekati medan lewat belakang masjid!” perintah Sang Komandan. “Sandi suara burung hantu tiga kali. Selama menunggu senja jangan buat gerakan yang mencurigakan.”
“Siap…..!!!”serentak mereka menjawab.
Mereka berbisik-bisik satu sama lain, “Mengapa menunggu senja…?”
“Ssst….kata komandan kalau senja matane londo blawurr..! rabun seperti ayam..!”
“Oo..O. begitu tho..!” bisik-bisik itu telah berhasil mengubah keraguan dan ketakutan mereka menjadi semangat dan keberanian yang luar biasa, karena mereka percaya kalau mata orang Belanda yang berwarna biru itu jika senja memang menjadi blawur atau rabun. Ketika senja tiba, tampak empat bayangan mengendap-endap di belakang masjid. Resah dan was-was menyelimuti perasaan masing-masing. Mereka menunggu komando untuk bergerak. Tidak lama kemudian terdengar, “ Uhuu..uhu..uhu.. !” suara burung hantu tiga kali.
Mereka pun dengan sigap bergerak cepat ke samping masjid, melompat pagar dan membawa jenazah Bajuri keluar dari pelataran masjid.
“Ayo….cepat..! Sssstt…suaranya jangan keras-keras…!”mereka saling berbisik.
Kembali bayangan itu berlari beriringan mengendap-endap di pematang sawah terus ke barat dan menghilang di balik rumpun bambu. Mereka berhasil membawa jenazah Bajuri dengan sembunyi-sembunyi dan menguburkannya di pekarangan belakang rumah penduduk juga sembunyi-sembunyi tanpa upacara. Hanya doa dan ucapan selamat jalan serta pekik, ”Merdekaa…!”
“ Lihat..ini ! Lihat kakiku…! Lihaaat..untuk siapa kukorbankan ? Untuk bangsa…untuk Negara…untuk Garuda Pancasila..!” teriak sang komandan sambil menepuk-nepuk dadanya.
Semua tertunduk dengan perasaan masing-masing, tidak ada yang berani berkomentar. Mereka hanya menunggu apa yang akan terdengar selanjutnya.
Tiba-tiba,”Tiaraaap….! Tiaraaap ! Belanda dataang..! Tiaaraapp…!! Kosim salah satu veteran yang duduk di sudut ruang berteriak-teriak histeris sambil melompat ke belakang kursi bersembunyi dan tiarap dengan wajah pucat seperti mayat. Badannya gemetar. ketika ada suara kendaraan penggilingan padi keliling yang sedang melintas dan suaranya memang menyerupai suara pesawat terbang.
Kejadian seperti ini memang sudah sering mereka alami di pertemuan mereka sebelumnya dan mereka biasanya akan tertawa karena mereka anggap lucu dan menggelikan. Tapi kali ini berbeda. Mereka tidak lagi tertawa atau mengolok-olok Kosim. Justru airmata mulai mengalir di sela-sela kerut wajah mereka. Mereka menyadari bahwa mereka senasib seperjuangan. Mereka menyadari bahwa Kosim sakit akibat perjuangan yang mereka lakukan dan mereka pun ikut merasa sakit.
Sang komandan berdiri berjalan terseok-seok menghampiri Kosim yang masih meringkuk bersembunyi di belakang kursi. Dibimbingnya si Kosim menuju kursi semula, sambil berucap, “Kita ini bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Kita tidak punya penghargaan dari siapa pun dan juga tidak butuh penghargaan dari siapa pun. Kita dulu berjuang tidak untuk siapa-siapa dan tidak tau untuk apa? Kita hanya tidak rela punya bangsa dan negara yang diacak-acak dan dijajah oleh bangsa lain. Makanya janganlah kita merendahkan diri kita sendiri!”
“ Kamu ..Dul, berhentilah jadi Satpam!” matanya menoleh ke arah Dulah.
“Dulu kamu pemuda yang pemberani memanggul senjata di medan pertempuran. Tapi sekarang malah jadi cecunguk! Disuruh-suruh, munduk-munduk sama juragan, disuruh jaga pintu, buka pintu pagar, disuruh beli ini beli itu.”
“Mana harga dirimu?” nadanya menggeram. Kalimatnya dilanjutkan dengan nada ancaman, “Kalau kamu masih jadi Satpam dan tak mau berhenti. jangan datang ke pertemuan ini!”
Dulah sangat terkejut mendengar kata-kata itu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya mengatakan, “Iya … Mas”
Dengan hati gundah ia pun menghitung-hitung penghasilannya akan berkurang Rp300 ribu seraya bergumam dalam hati, “Bagaimana bisa nongkrong-nongkrong ngopi di warung Yu Gemi?”
“ Kamu, Slamet kalau datang ke pertemuan jangan pakai seragam veteran dengan tanda jasa dipakai semua …pating trempell seperti itu…nanti orang bilang kamu seperti orang edan..!” tangan Sang Komandan menyentuh satu persatu tanda jasa di dada Slamet.
“Inggih.. Mas…!” jawab Slamet kecewa. Dia selama ini sangat bangga dengan bintang jasa yang dimilikinya sekaligus bangga memakainya. Kalau tidak dipakai, pasti tidak ada yang tahu dirinya pernah berjuang di jaman perang.
“Kalau kamu, Yus ..bagaimana ? uang pensiunmu tinggal berapa?“ tanya komandan penuh selidik.
“Tinggal seratus ribu.. Mas..!” jawab Yuswan.
“Haaah…,se- r a- t u s r i- b u…? Lha kamu makan apa ? kamu punya utang berapa sama rentenir itu, Yus…?” Tanya komandan dengan heran.
“Anu Mas…, dulu utang Rp2 juta buat berobat istri saya. Saya tidak bisa nyicil. Jadi berbunga terus. Kalau untuk makan ya..usaha, Mas…!” jawab Yuswan sekenanya.
“Lho…kamu kan punya kartu ASKES, kenapa tidak digunakan ?“ tanya komandan semakin heran.
“Ya..sudah digunakan Mas, tapi kan banyak obat-obatan yang tidak ada di daftar obat askes, terutama obat-obat yang mahal…Mas!” Jawab Yuswan.
“Saya sendiri tidak tahu utang saya berapa. Buku saya diminta sama mereka. Kalau saya ngambil pensiun, ya..ambil buku dulu ke mereka. Kalau sudah dapat uang saya setorkan ke mereka. Selalu seperti itu Mas setiap bulan sampai utang saya lunas,” dengan lesu Yuswan menceritakan semuanya.
“Kurang ajarr…! Bangsaaat tenan…!” dengan geram sang komandan mengumpat. “Oalaa…Yus…Yus…kita ini di masa perjuangan menderita, sekarang sudah merdeka tambah menderita. Kalau dulu kita menderita karena dijajah bangsa lain, sekarang kita menderita karena dijajah bangsa sendiri!!!”
Di akhir pertemuan sang komandan mengingatkan. “Jangan lupa bawa penghargaan kalian dari pemerintah. Ambil satu-satu…!“
Masing-masing mengambil penghargaan itu dan meninggalkan tempat pertemuan itu dengan memanggul penghargaan masing-masing. Yaitu batu nisan bercat biru. Mereka pulang dengan langkah gontai dan tak ada lagi pekikan,”Merdeka!” seperti biasanya.
Inilah penghargaan paling berat dan paling besar yang pernah mereka terima.
Sejak peristiwa itu, tidak pernah lagi ada pertemuan. Masing-masing membawa dan mencari peruntungannya. Si Dulah tetap jadi Satpam. Setiap hari kalau berangkat maupun pulang ia dengan sengaja mengambil jalan memutar agar dapat lewat di depan tempat pertemuan dengan harapan dapat bertemu dengan sang komandan. Walaupun sebenarnya setiap kali mendekati rumah komandan hatinya berdegup lebih cepat dan merasa takut karena tidak mengindahkan perintah sang komandan.
Kalau Slamet lebih suka berkeliling desa bersepeda ontel menggunakan seragam veteran lengkap dengan topi dan berbagai atribut maupun penghargaan yang dimiliki. Apabila ada orang yang memberi salam, maka dia akan berteriak “ Merdekaa ..!!” orang menyebut dia orang edan! Ia tidak peduli. Yang penting orang lain tahu bahwa dia punya banyak bintang jasa.
Si Yuswan tetap dengan usahanya, dan semakin tenggelam dalam utang-utangnya. Ternyata ketika pagi buta sebelum subuh Yuswan sudah bergelut dengan kabut. Semua orang masih terlelap dalam mimpi, Yuswan dengan wajah ditutup sebuah sapu tangan, dia berjalan tertatih-tatih keluar rumah membawa sebuah karung plastic. Dia berkeliling di perkampungan membuka-buka tong sampah milik warga, mencari benda-benda yang dibuang tetangganya dan masih bisa dijual untuk menyambung hidupnya!
Bagaimana dengan sang komandan?
Dia sakit, terbawa oleh kesedihan dan kekecewaanya. Badan tegap dan perkasa sisa-sisa masa mudanya sudah sirna. Sang komandan sedang sakit. Dia begitu kecil meringkuk di bawah selimut berwarna hijau dan ada sedikit tersulam kata ABRI di sudut selimut yang warnanya sudah mulai pudar. Setiap ada kerabat yang datang menjenguknya atau teman-teman sesama veteran, dia akan selalu bercerita tentang selimut itu. “Ini dari anakku yang jadi tentara di Jakarta, sekarang sudah jadi letnan kolonel..!”
Dia begitu bangga mempunyai anak yang menjadi tentara, yang akan berjuang di garis depan di medan pertempuran untuk memperjuangkan dan mempertahankan bangsa dan negara, seperti yang pernah dilakukannya di masa silam. Ia tidak pernah bangga dengan dirinya sendiri walaupuan dulu ia seorang komandan yang gagah berani dan sangat disegani di medan pertempuran. Ia sangat sedih dengan kehidupan anak buahnya yang tidak bisa menikmati kemerdekaan yang pernah direbut dan diperjuangkannya dengan segenap jiwa dan raga. Dunia memang tidak adil!!!
***
Pada hari ini, Jumat…..Mei 2009 telah pulang ke Rahmatullah seorang pahlawan bangsa, dengan membawa kesedihannya. Lengkaplah penghargaan yang kau terima, mulai dari batu nisan biru, taman makam pahlawan dengan dentuman tembakan penghormatan sebagai tanda jasa bintang gerilya seorang veteran.
Selamat jalan pahlawan…! Di dunia kau memang tak dapat keadilan, tapi masih ada yang Maha Adil…(*)