Dimulai dengan sebuah Quotes menggelitik yang terletak di ujung atas cover, “uang bukanlah akar dari kejahatan, tapi sebaliknya uang adalah puncak dari toleransi manusia”. Yuval Noah Harari menyajikan pandangan-pandangan segar bagi masyarakat umum. Terlebih di tengah gemerlap dunia yang seakan tidak bisa lepas dari uang, uang yang semestinya hanya menjadi alat, sehingga bersifat bebas nilai atau netral, menjadikan uang sering kali dikaitkan dengan berbagai hal negatif di masyarakat.
Buku berjudul Money: Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Haz Algebra. Dalam cetakannya yang kedua pada tahun 2020, Global Indo Kreatif selaku penerbit menyajikan buku ini dalam 166 halaman yang amat menarik dibaca. Dalam buku ini Harari menyajikan ringkasan dari dua buku fenomenalnya Sapiens dan Homo Deus, secara garis besar buku ini terbagi dalam tiga fokus.
Dalam fokus pertama, Harari mengajak kita untuk melihat kembali sejarah terbentuknya uang. Dimulai dari kisah penjelajah Spanyol bernama Hernan Cortez yang melakukan penjelajahan ke Meksiko, ia terkejut tatkala suku Aztec tidak menganggap emas berharga sebagaimana yang dipercaya oleh orang Eropa. Alih-alih menganggap emas berharga, suku Aztec justru menganggap biji kakao ataupun gulungan kain berharga, sehingga menggunakannya sebagai alat tukar.
Hal ini menunjukkan bahwa uang pada dasarnya adalah suatu sistem rasa saling percaya di antara para penggunanya yang dapat berlaku secara universal. Uang sendiri tidak terbatas pada logam maupun kertas. Dalam banyak sejarah manusia telah muncul banyak jenis uang. Pada dasarnya, uang adalah apa pun yang dipercaya bersama-sama dan digunakan menyatakan nilai benda lain secara sistematis untuk tujuan pertukaran barang dan jasa.
Baca Juga: Sang Bijak Dari Timur, Mahatma Gandhi Oleh : Muhammad Hafizh Paramaputra
Itu menjadikan uang menjadi bagian inheren dalam kehidupan manusia. Posisinya yang memperbaiki kelemahan sistem barter, telah secara sistematis mempermudah kehidupan manusia. Sangat sulit dibayangkan, betapa rumitnya kehidupan modern bila manusia masih berpedoman pada sistem barter.
Seorang petani apel, tidak bisa terus-menerus menggunakan apelnya sebagai alat tukar untuk mendapatkan hal yang dibutuhkannya. Akan muncul suatu titik di mana petani apel membutuhkan suatu barang misalkan sepatu untuk bekerja, namun perajin sepatu sudah memiliki lebih dari cukup apel untuk dirinya. Sehingga apel yang dimilikinya tidak dapat digunakan untuk mendapatkan sepatu dari perajin sepatu tersebut.
Dalam Fokus kedua, Harari membahas uang dalam bentuk kredit yang digunakan untuk membeli masa depan. Telah mafhum diketahui, VOC pernah menjajah Indonesia. dalam upaya paling awalnya untuk melakukan penjelajahan perdagangan, VOC yang sebenarnya kumpulan pedagang itu menggunakan sistem kredit sebagai fondasi untuk kejayaan mereka. Dalam upayanya untuk menjelajah Nusantara, mereka mencari investor yang bersedia memiliki rasa kepercayaan yang sama dengan mereka yakni setelah penjelajahan itu dilakukan mereka akan mendapat kekayaan dan kejayaan yang luar biasa.
Tidak hanya itu, mereka juga melakukan penjualan saham-saham mereka di negara asalnya. Semua uang yang didapatkan, kemudian digunakan untuk membiayai perjalanan hingga melakukan penaklukan ke daerah-daerah lain guna menebus impian masa depan yang mereka impikan di awal tadi.
Baca Juga: Cita dan Cinta
Dalam buku ini, Harari turut menyinggung masa depan uang dan manusia. Hal ini salah satunya didorong oleh penggunaan uang yang digunakan untuk mendanai berbagai riset dan inovasi para ilmuwan, sehingga teknologi semakin berkembang pesat hingga manusia dihadapkan pada masa depan yang akan banyak didominasi oleh kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).
Kemunculan AI, telah mengubah kebiasaan manusia dalam bertransaksi, kini cukup menggulirkan jari melalui layar ponsel saja manusia dapat melakukan transaksi tanpa harus bertemu dengan pedagang seperti sebelumnya. Tak hanya itu, AI juga memiliki ancaman tersendiri. Mendatang akan banyak pekerjaan yang tergantikan AI, sehingga akan memunculkan manusia kelas nirguna atau yang disebutnya sebagai “kaum rebahan”.
Selain ancaman kehilangan pekerjaan, masa depan manusia dengan era AI-nya turut mengancam hubungan sosial manusia. Ketika manusia menjadi sopir bagi manusia lain, dapat terjadi komunikasi sosial yang tidak dapat tergantikan oleh robot ataupun AI. Ketika dokter bedah digantikan robot dikarenakan alasan kualitas yang lebih baik, robot pengganti tidak bisa melakukan hubungan emosional sebagaimana dokter bedah manusia kepada pasiennya.
Bila kita merasa ada yang salah dengan fenomena AI di atas, di lain sisi, justru ada jutaan orang yang secara sukarela menerima AI dan setuju dengan penerapan AI dalam kehidupan manusia. Perubahan dari manusia ke algoritma ini bukan serta merta keputusan pemerintah, namun akibat banjirnya pilihan keseharian. Sehingga, bila tiap individu manusia telah menyerahkan banyak atau bahkan seluruh privasinya pada algoritma, sehingga batasan individu menjadi kabur.
Akankah manusia masih berharga secara kolektif atau makin kehilangan nilai mereka seutuhnya. Lantas bagaimanakah kehidupan manusia di masa mendatang? Sebagaimana karya khas Harari buku ini hadir dengan gaya bahasa luwes, penyampaian fakta menarik, sistematis, serta banyak diberikan perumpamaan sehingga buku ini mudah dipahami. Ringkas tapi berbobot.
Baca berita terlengkap di Tabloid Inspirasi Pendidikan