Dalam kebudayaan jawa, guru dimaknai “digugu lan ditiru” yang bermakna bahwa keseluruhan ucapan dan tindakannya dapat dicontoh oleh muridnya. Sehingga, guru tidak semata-mata orang yang ahli dalam suatu bidang tertentu kemudian memberikan pembelajaran terkait hal itu. Guru memiliki tanggung jawab yang besar sebagai contoh bagi anak didiknya. Akan tetapi, besarnya tanggung jawab guru tidak serta merta menjadikan murid akan membebek kepada setiap guru yang mereka temui.
Pada dasarnya murid akan lebih dekat kepada terhadap guru dengan karakteristik tertentu yang mereka anggap “cocok” maupun “nyaman”. Dampak dari kecocokan karakter ataupun kenyamanan yang terbangun ini akan menjadikan guru lebih mudah dalam membimbing anak didiknya atau yang dalam buku ini disebut sebagai Guru Idola. Menjadi guru idola, semestinya sudah menjadi harapan setiap calon pendidik maupun mereka yang telah menjadi pendidik. Namun, tidak semua orang dapat menjadi guru idola.
Karena itu, buku ini hadir dengan berisi sekumpulan cara yang dapat dipraktekkan untuk menjadi guru idola. Tidak hanya hal-hal yang perlu dilakukan namun juga hal yang tidak boleh dilakukan oleh guru. Sehingga buku ini sangat cocok dibaca bagi mahasiswa program studi kependidikan yang hendak melaksanakan praktek lapangan maupun bagi guru di berbagai jenjang pendidikan yang memiliki kendala dalam mendidik murid-muridnya. Penulis memulai dengan menjelaskan apa itu guru idola serta menjelaskan perbedaan guru yang demi memenuhi kewajiban profesi dibandingkan dengan guru yang hadir sebagai panggilan jiwa.
Baca Juga: Resensi Cahaya Cinta Pesantren, Oleh: Muhammad Hafizh Paramaputra
Pembahasan kemudian dilanjutkan terkait hal apa saja yang perlu dimiliki oleh guru lalu pembahasan dilanjutkan mengenai hal-hal yang perlu dilakukan oleh Guru Idola. Terhadap banyak hal yang perlu dilakukan seseorang untuk menjadi guru idola, namun keseluruhan hal itu dapat dimaknai sebagai memanusiakan manusia yang dalam konteks ini berarti memanusiakan peserta didik. Buku ini memberikan tuntunan bagaimana seorang guru semestinya memanusiakan peserta didiknya, yang pada gilirannya, hal itu akan memunculkan kenyamanan dan menjadikan guru terkait sebagai guru idola.
Keseluruhan tuntunan tersebut dapat anda baca dan pelajari langsung dalam setiap sub – bab pembahasan di buku ini. Kiat-kiat yang disampaikan cukup lengkap dan bahasa yang digunakan sangat mudah dipahami sehingga dapat dibaca kapanpun. Selain berisi kiat-kiat menjadi guru idola, buku ini juga berisi berbagai hal yang tidak boleh dilakukan oleh guru. Juga, penulis mengingatkan agar guru menghadirkan peserta didik dalam doa. Mengingat sejatinya manusia tidak memiliki daya dan upaya, serta ada dzat yang Maha membolak-balikkan hati, tentunya akan lebih efisien jika upaya yang telah dilakukan tuut diimbangi dengan berdoa.
Namun buku ini sendiri masih memiliki beberapa kekurangan, diantaranya ialah perspektif yang digunakan masih berfokus dalam pendidikan luring. Meskipun perlu diakui tawaran yang penulis sampaikan dalam buku ini termasuk luar biasa dan mungkin belum banyak diaplikasikan dalam pendidikan di Indonesia, namun kondisi dunia yang mengarah ke dunia digital tentunya membutuhkan penyesuain metode pembelajaran agar tetap dapat efektif. Ditambah lagi, terjadinya pandemi covid-19 telah mengubah kebiasaan secara mendasar.
Singkatnya, ketika pendidikan luring belum mencapai tingkat yang sempurna kita telah dihadapkan oleh permasalahan baru yakni tidak efektifnya pembelajaran daring.
Namun, berkaca terhadap semakin membaiknya dan semakin siapnya kita menghadapi pandemi covid-19, tentunya isi dari buku ini kembali relevan mengingat pembelajaran luring kembali diberlakukan dan masih menjadi metode pembelajaran yang lebih diminati ketimbang pembelajaran daring.