Baru saja, aku membaca berita terkini: Gempa 6,6 SR Mengguncang Turki. Karena lelah sepulang mengajar, aku mulai mengantuk masih dengan gawai di tanganku.
Kamarku terasa sejuk oleh udara masuk yang berhembus lewat celah jendela. Waktu merambat cepat, senja merayap mendekat.
Sayup-sayup kudengar Mas Ivan, suamiku melantunkan ayat-ayat kitab. Damai, jiwaku tenang seakan dalam buaian.
Indah, aku merasa berjalan menyusuri panorama yang begitu memesona. Taman, kebun buah, telaga, padang yang sejuk, semua ada di sana.
Tempat yang teramat indah, tujuan terakhir dari penghambaan setiap manusia pada Rabb-nya.
Tetiba terdengar olehku suara gemuruh yang tak bisa kutebak asalnya. Aku berlari keluar kamar dengan ketakutan.
Mas Ivan datang padaku tapi langkahnya tertahan oleh lukisan-lukisan dinding yang berjatuhan. Kaca pigura pecah berhamburan.
Tangan dan kakinya tergores, berdarah.
Gempa besar telah melanda kotaku.
Suara teriakan dari luar kudengar bersahutan semakin mengerikan.
Hasrat hati ingin menjangkau tangan Mas Ivan tapi balok dari atap rumah menindih kakiku. Aku meringis kesakitan.
Aku melihat Mas Ivan terhuyung, kepala dan bahunya dihantam dinding rumah yang ambruk. Kulihat darah mengucur melewati kening, hidung, dan pipinya. Aku mencoba menggeser dudukku, berharap balok berpindah dari kakiku, tapi tak bisa.
Goncangan gempa susulan terasa lebih dahsyat lagi. Tangan Mas Ivan mencoba meraihku, tapi sia-sia. Dengan sisa tenaganya, Mas Ivan mengangkat balok dari kakiku. Belum sampai berhasil, suara gemeretak yang hebat membuat kami serentak melihat ke atas.
“Allahu akbar! Laailaaha illallaah…!! Aku berteriak sekuat tenaga.
Seluruh atap rumah roboh dan menimbun tubuh kami.
“Sayang, ayo bangun! Sebentar lagi magrib,” samar, kulihat Mas Ivan tersenyum.
Nafasku tak beraturan dengan debar yang belum bisa kuhentikan. Kepala terasa penat, tapi kupaksa tubuhku bangun untuk segera bersiap mendirikan salat.