Berdiri di Bahu Raksasa

0
Sumber foto: istockphoto

Saat membuka situs dan penelusuran ternama jurnal-jurnal ilmiah, sering ditemui sebuah istilah atau kutipan menarik yang cukup mencolok “Berdiri di Bahu Raksasa”. Kutipan ini sampai sekarang masih populer di kalangan akademisi, filsuf, dan ilmuan.

Baca Juga: 

Cita-cita Kemerdekaan untuk Pendidikan

Bila Engkau Pulang, Mampukah Kami Menjaga?

Pendidikan Daendels dalam Simbol Ki Hajar Dewantara

Banyak versi mengungkapkan asal muasal istilah ini, namun “Berdiri di Bahu Raksasa” menjadi populer sejak Isaac Newton seorang ilmuan fisika menulis surat kepada pesaingnya yakni Robert Hooke pada 5 Februari 1675.

Istilah berbahasa latin “Nanos Gigantum Humeris Insidentes” tersebut, secara sederhana dapat diartikan bahwa ketika ingin melihat dan memahami sesuatu secara lebih luas, maka kita bisa menempatkan diri selayaknya seorang kurcaci yang sedang berdiri di bahu raksasa.

Coba bayangkan, ketika seorang kurcaci berdiri di bahu raksasa, ia akan dapat melihat segala sesuatu dari tempat yang tinggi, mengamati apa yang ia temukan, dan dapat mempelajari temuan-temuan tersebut.

Memiliki pemikiran luas layaknya seorang kurcaci yang berdiri di bahu raksasa, bukan tidak mungkin akan menciptakan sebuah inovasi baru dan menstimulus lahirnya ide-ide cemerlang guna merespons segala permasanlah yang mungkin terjadi.

Dengan begitu, istilah “Berdiri di Bahu Raksasa” semestinya dapat menjadi salah satu konsep untuk merespons banyak hal. Bukan hanya bagi kalangan akademik, melainkan turut dapat menjadi konsep semua orang dalam merespons informasi, kritik, dan mungkin masalah-masalah dalam aktivitas keseharian.

Sebut saja ketika ber-media sosial, masih sering kita temui pengguna internet yang debat kusir dalam kolom komentar. Parahnya, perdebatan dimulai ketika mereka belum benar-benar paham dan mengkonfirmasi kebenaran dari informasi yang diterima.

Debat yang tidak ada ujungnya ini, cenderung terjadi akibat tidak adanya pengetahuan yang “luas” atau memadai terkait masalah atau topik yang diperdebatkan. Karenanya, pernyataan atau statemen yang dilontarkan acap kali melenceng jauh dari topik yang dibahas dan berkutat pada masalah yang “itu-itu” saja.

“Kenapa Anda tidak datang?”, “Karena saya tidak diundang”, “Masa saya mau mengundang Anda”, “Mangkanya jangan menyalahkan saya”, “Saya tidak menyalahkan, cuma kenapa Anda tidak datang”, “Saya tidak diundang kok mau datang,”, “Emang saya salah tidak undang Anda,” dst. Kalau sudah seperti ini, perdebatan yang seharusnya menjadi topik diskusi demi lahirnya solusi, ujung-ujungnya justru menjadi sarana untuk saling menghakimi.

Geser pada contoh lain, mungkin kita pernah atau justru sering mendapat informasi seputar masalah skala kecil di lingkungan tetangga. Awalnya hanya cekcok biasa, semakin lama masalah bukan selesai malah semakin besar.

Beberapa kasus, bahkan menyebabkan penutupan akses jalan. Tetangga yang merasa memiliki “hak” akan tanah, menutup akses jalan dengan menembok jalan tetangga lain. Akibatnya, satu tetangga mendapat dampak yang cukup besar berupa kesulitan keluar masuk dari kediamannya sendiri.

Meski tidak semua kasus selalu berakhir runyam, tapi dua peristiwa tersebut dapat menjadi contoh kecil. Alih-alih menjadi seorang kurcaci yang berdiri di atas bahu raksasa, para aktor dalam dua peristiwa itu malah seperti kurcaci yang berdiri tepat di hadapan tembok. Pandangannya tertutup tembok yang ada tepat di depannya, sehingga tidak dapat menilai sesuatu secara lebih luas.

Jika mereka menempatkan diri sebagai seorang yang berdiri di bahu raksasa, sebelum melakukan debat di media sosial maka akan mencari dan membandingkan dengan berbagai informasi lain. Mencari sudut pandang yang lebih luas. Berbekal wawasan yang luas ini, pengguna media sosial bakal punya pegangan untuk berdebat dan segera berhenti saat perdebatan sudah melenceng ke mana-mana.

Begitu pula saat bertetangga, sebelum masalah menjadi semakin besar, saat masing-masing yang cekcok dapat melihat segala sesuatu secara lebih luas. Misal menimbang bahwa mereka akan tetap hidup berdampingan di tempat yang sama atau mungkin ketika ada musibah pasti yang pertama menolong selain keluarga juga tetangga terdekat. Memakai sudut pandang yang sedikit “lebih luas” ini, maka masing-masing bisa mencari solusi tanpa mengedepankan ego salah benar.

Akan tetapi perlu digarisbawahi, menjadi seorang kurcaci yang mampu berdiri di bahu raksasa tidaklah instan. Ia harus berjuang untuk mendaki ke bahu ini. Artinya butuh proses latihan, mengenal medan, pembiasaan, dan pembelajaran untuk mencapai bahu raksasa tersebut. Baca konten lengkap lainnya di Tabloid Inspirasi Pendidikan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News