Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei lalu, menjadi momentum yang baik bagi kita untuk merefleksikan kembali dunia pendidikan Indonesia. Meskipun sejatinya, refleksi semacam ini dapat dilakukan kapan pun tanpa harus menanti momen tertentu.
Jejak pendidikan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai ketika pemerintah Belanda menerapkan politik etis atau politik balas budi. Salah satu bentuk praktik politik balas budi ini adalah memberikan pendidikan kepada masyarakat lokal atau kaum Bumiputera.
Namun pada praktiknya, pendidikan hanya bisa diakses oleh keturunan ningrat atau keluarga yang secara ekonomi sangat kaya. Sehingga, pendidikan menjadi suatu hal yang sangat eksklusif atau tidak dapat diakses semua pihak.
Baca Juga:
Safari Literasi, Masuk ke Kampung-Kampung Dekatkan Akses Bacaan
Memecahkan Kekhawatiran Tentang Pilihan Studi di Universitas
Setelah pendidikan diberikan, hasil luaran yang diharapkan pun sebenarnya membentuk para pekerja yang dapat membantu pemerintah kolonial dalam menjalankan sistem pemerintahan di negara jajahan. Karena itu jelas, pendidikan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan atas angkatan kerja.
Herman Willem Daendels yang sempat menjabat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda pada 1808 – 1811 adalah sosok yang mulai meletakkan fondasi dasar pendidikan di Indonesia. Dikarenakan pada bulan Juni di tahun 1810 pada saat Daendels di Cirebon, dirinya menyadari jika masyarakat masih belum tersentuh pendidikan sehingga tidak mengenal lingkungan dan aksara (versi Daendels tentunya).
Berawal dari hal itu dirinya bekerja sama dengan pangeran Cirebon membentuk Sekolah Ronggeng. Yakni sekolah rakyat yang mempertemukan standar pendidikan Barat dengan Timur, dan membentuk lulusan yang melek huruf. Lalu pada 1811, Daendels membuka sekolah bidan di Batavia yang kini bernama Jakarta. Dikarenakan banyak terjadi kematian bayi serta ketiadaan perawatan kesehatan.
Tindakan Daendels itulah yang kemudian menjadi akar dari pendidikan pada era Van Heutz. Van Heutz juga membentuk sistematis dasar bagi pendidikan yang terus dikembangkan oleh penerusnya yakni Idenburg dan Van Limburg Stirum.
Pendidikan menjadi sebuah komoditas yang dijejalkan kepada murid. Murid ini dianggap sebagai bejana kosong dan dibentuk sesuai kebutuhan pemangku kepentingan. Bila pada masa Hindia Belanda, salah satu bentuk kebutuhannya ialah mempersiapkan pekerja administrasi. Maka pada saat ini, kebutuhannya berubah menjadi pemenuhan kebutuhan angkatan kerja industri. Apakah ini pendidikan yang diharapkan Ki Hajar Dewantara?
Menurut hemat penulis, hal ini sangat berbanding terbalik dengan idealisme pendidikan Ki Hajar yang hendak memanusiakan manusia, bertujuan untuk membentuk manusia merdeka seutuhnya. Melalui idealisme ini, pendidikan menjadi sarana bagi manusia untuk menemukan bakat terpendam, serta menjadi versi terbaik dirinya. Bukan semata-mata memenuhi kebutuhan industri akan pemenuhan angkatan kerja.
Jika ditilik dari sejarah penetapannya, 2 Mei ditetapkan menjadi hari pendidikan nasional dengan mengambil tanggal kelahiran Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Salah seorang tokoh pahlawan nasional yang kiprahnya dalam dunia pendidikan tak lagi diragukan. Salah satu jejak sumbangsihnya, dapat ditengok melalui perguruan nasional Taman Siswa yang ia dirikan pada 3 Juli 1922.
Perlu diketahui, pada saat Ki Hajar mendirikan Taman Siswa, di Hindia Belanda sudah terdapat sekolah-sekolah formal akademis bentukan pemerintah Belanda. Mulai dari HIS sampai HBS, AMS, dan Universiteit sudah banyak dibangun dimana-mana. Sehingga, taman siswa itu dibentuk bukan untuk menjadi fondasi sistem pendidikan nasional. Namun sebagai perlawanan terhadap sistem kebangsaan pendidikan nasional.
Sayangnya, dalam perjalanan puluhan tahun kemerdekaan bangsa ini. Harumnya nama dan semboyan Ki Hajar Dewantara tidak serta merta menjadikan Taman Siswa sebagai sistem pendidikan yang diadopsi bangsa ini. Bangsa ini merasa cukup mengadopsi harumnya nama, besarnya semboyan, serta tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara sebagai simbol pendidikan nasional namun bukan sistem pendidikan nasional itu sendiri.
Selama pendidikan masih bersifat menggeneralisir, maka definisi pintar dan bodoh akan selalu mengikuti kemauan pemangku kepentingan. Pintar adalah kemewahan murid yang berhasil mendapatkan nilai tinggi di pelajaran ilmu sains. Bahkan tanpa perduai cara mendapatkan serta bakat dan kemampuan anak didik.
Selama itu pula adopsi bangsa ini hanya terbatas pada nama, semboyan, dan tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara. Bukan pada idealisme dan pemikiran Ki Hajar Dewantara  Baca konten lengkap lainnya di Tabloid Inspirasi Pendidikan