Angkat Tangan agar Tuhan Turun Tangan, Oleh: Moh. Mahrus Hasan

0
Judul: Seni Merayu Tuhan, Penulis: Husein Ja'far Al-Hadar, Penerbit: PT. Mizan Pustaka Bandung, Tahun Terbit : 2022, Tebal: 228 halaman, ISBN: 978-602-441-255-5.

Merayu Tuhan (baca: Allah) itu ada seninya, yakni dengan ihsan. Ihsan itu, sebagaimana sabda Nabi, “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu.” Secara sederhana, ihsan mensyaratkan kesadaran diri bahwa Tuhan Maha Mengetahui ibadah kita. Ibadah yang dimaksud bukan sebatas ibadah ritual, tetapi juga mencakup segala aktivitas manusia yang diniatkan dan bernilai ibadah.

Baca Juga: 

 

Bumi “Raib Dan Potensinya”, Oleh : Averin Muria Almayda, SMA Negeri 1 Kepanjen

 

Warisan Bapak, Oleh : Satriyo Nanda Albustomi Saputra

Ibadah tersebut mesti dijalankan bukan hanya secara fisik, melainkan juga secara batin yang tulus-ikhlas. Sebab, kata penulis, merayu Tuhan tidak hanya mengandalkan ibadah-ibadah utama (mahdhah), tetapi menambahi dengan ibadah-ibadah tambahan (ghairu mahdhah). Maka, berkesenianlah dalam merayu Tuhan dalam ibadah-ibadah ghairu mahdhah tersebut.

Moh. Mahrus Hasan (Guru MAN Bondowoso, Pembina Komunitas Literasi “Sabha Pena”, dan Inisiator Saya Sibuk: Satu Karya Resensi Buku pada Pendidikan Menengah).

Ibadah yang diniatkan dan dilakukan dengan ihsan sangatlah berbeda dengan ibadah yang dikerjakan sekenanya saja. Ibadah yang bersifat ritual tanpa dipahami hakikatnya maka hanya menggugurkan kewajiban dan bersifat formalitas semata. Akibatnya, gerakan sholat menjadi sekadar gerakan fisiologis tanpa kekhusyukan, yang menjurus pada “yoga bersyariah.” Zakat hanya akan menjadi “pajak bersyariah”, puasa mengarah pada “diet bersyariah”, dan berhaji tidak ubahnya “traveling bersyariah.”

Ibadah yang dilakukan dengan ihsan akan membuahkan akhlak baik dan pikiran bijak. Efeknya, pelakunya akan dipenuhi dengan rasa cinta, akhlakul karimah, dan ketulusan berkaitan dengan hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia). Berkaitan dengan hablum minallah, kita mesti berharap rahmat Tuhan dengan merayu dengan penuh ketulusan, bukan mendikte atau memaksa, dan berada di tengah antara khauf (takut, khawatir) dan raja’ (berharap, optimis). Ibaratnya, ketika kita benar-benar mengangkat tangan (berdoa dan berupaya, bukan dalam arti menyerah), maka Tuhan pasti akan turun tangan (mengabulkan permohonan dan memberi pertolongan).

Penerapan hablun minanaas dalam hubungan kita dengan orang lain adalah kita harus menganggap orang lain—meski berbeda ras, suku, dan agama—sebagai saudara, sebagaimana yang diajarkan dalam Islam. Dalam kerangka inilah seorang ulama besar NU Kiai Achmad Siddiq merumuskan trilogi persaudaraan (ukhuwwah): persaudaraan Islam (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah).

Bahkan, lebih jauh penulis menambahkan bahwa kita mesti bersaudara dengan seluruh makhluk sebagai sesama makhluk Tuhan (ukhuwwah makhluqiyyah). Dalam salah satu sabdanya, Nabi menegaskan, “Siapa yang berhati rahmat kepada sesama makhluk, maka allah akan menurunkan rahmat-Nya.” Nabi juga pernah menegur gerombolan pemuda yang nongkrong bercerita sambil tetap duduk di atas untanya, “Sebagaimana kalian, unta kalian juga butuh istirahat, maka turunlah dari pundaknya dan biarkan ia istirahat,” titahnya Baca konten versi cetak di Tabloid Inspirasi Pendidikan Edisi 123

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News