Dosa Struktural Tragedi Kanjuruhan

0
Sumber Foto: Kompas.com

Sejarah akan mencatat Sabtu 1 Oktober 2022 sebagai sejarah kelam dunia olahraga Indonesia. Seperti yang sudah pembaca tahu, pada malam 1 Oktober terjadi kerusuhan suporter Aremania di Kanjuruhan.

Secara nalar obyektif, hal ini bisa dibilang sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Dikarenakan, Kanjuruhan merupakan kandang Aremania serta pada malam itu Aremania merupakan satu-satunya suporter yang hadir di Kanjuruhan. Lantas bagaimana mungkin bisa terjadi kerusuhan dengan korban meninggal dunia hingga ratusan orang? Saya yakin pembaca sudah banyak mengetahui duduk perkaranya.

Mulai dari suporter turun ke lapangan, penembakan gas air mata oleh aparat, hingga terdapat beberapa pintu keluar stadion yang terkunci. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan banyak mendeskripsikan insiden tersebut.

Tulisan ini akan membahas bagaimana permasalahan struktural bertanggung jawab penuh atas insiden Kanjuruhan 1 Oktober. Bila melihat dari sudut pandang struktural, maka logika dasar yang dipakai adalah semakin besar power (kekuasaan) yang dimiliki, maka semakin besar beban tanggung jawab yang diemban.

Baca Juga :

Dukacita Insiden Stadion Kanjuruhan, Siswa-siswi Tulis Doa

MAN 1 Malang Peringati Maulid Nabi dan Gelar Doa Bersama untuk Korban Tragedi Kanjuruhan

SMKN 4 Malang Bentuk Karakter Kepemimpinan Melalui LDKS

Dengan demikian, seseorang yang mungkin tidak terlibat secara aktif, tetap bisa memiliki beban tanggung jawab besar karena dia mengemban jabatan dengan power besar. Melalui jabatan itu, dia dapat mengeluarkan kebijakan yang dapat mengatur bagaimana suatu pertandingan berjalan dan serangkaian ketentuan turunan terkait dengan pertandingan.

Sehingga, di sini akan tampak beberapa badan yang memiliki power besar dan wajib bertanggung jawab penuh meskipun tidak terlibat secara langsung dalam pertandingan Arema vs Persebaya.

Pertama PSSI selaku asosiasi sepakbola Indonesia. PSSI memiliki power secara struktural pada seluruh tim beserta Panpel sepakbola Indonesia. Kedua PT LIB yang bertanggung jawab selaku operator pertandingan, dan ketiga aparat pengamanan selaku pihak yang mengamankan.

Sayangnya PSSI tidak melakukan tugasnya dengan baik sehingga banyak kesalahan yang dapat terjadi. Seperti over capacity stadion, terkuncinya beberapa pintu keluar stadion, hingga cara penanganan aparat yang tidak manusiawi dan tidak sesuai standar FIFA.

Terkait aparat, sebenarnya sangat aneh. Dikarenakan pada tahun 2019, juga pada pertandingan Arema vs Persebaya, sudah disepakati untuk tidak menggunakan gas air mata dalam pengamanan. Namun kenapa saat ini justru mengalami kemunduran? Selain kepolisian, TNI juga dilibatkan dalam penanganan. Keterlibatan TNI sebenarnya agak rancu, karena mengamankan sepakbola bukan tugas TNI.  Baca berita selengkapnya di Tabloid Inspirasi Pendidikan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News