Kab Malang, IP – Kabupaten Malang dianugerahi beragam potensi wisata, baik natural maupun buatan. Salah satu potensi wisata di Kabupaten Malang yakni Pesarean Gunung Kawi. Seperti namanya, objek utama di sini adalah makam dari dua tokoh bangsawan yang keduanya merupakan guru dan murid.
Sang guru yang bernama asli Raden Mas Suryo Kusumo Raden Kromo Direjo atau biasa disebut Kiai Zakaria II alias Eyang Djoego. Ia merupakan tokoh pertama dimakamkan di Pesarean gunung Kawi sesuai permintaan semasa hidupnya.
Berdasarkan catatan sejarah, Eyang Djoego berasal dari keraton Surakarta dan termasuk salah satu pejuang dari kelompok perjuangan pangeran Diponegoro.
Baca Juga:Â
Mengenal Sosok Pengawal Pangeran Diponegoro yang Dimakamkan di Pesarean Gunung Kawi
Harmonisasi Kehidupan dan Ekosistem di Festival Tirta Amerta Sari
Museum Mpu Purwa, Sajikan Wawasan Sejarah Kota Malang
Dikbud dan TACB Kota Malang Selidiki Arca Dewa dan Nandi di Bekas Museum Bentoe
Setelah ditangkapnya pangeran Diponegoro, Eyang Djoego mengubah haluan perjuangan dari angkat senjata menjadi pengajar. Ia mendirikan padepokan dan mengajarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya di Desa Jugo, Kesamben, Blitar, Jawa Timur hingga akhir hayatnya.
Sedangkan sang murid bernama asli Eyang Raden Mas (RM) Imam Soedjono. Berdasarkan catatan sejarah, ia berasal dari keturunan Keraton Yogyakarta. Sejarah mencatat RM Imam Soedjono merupakan murid kinasih atau murid yang sudah dianggap sebagai anak sendiri dari Eyang Djoego. Dikarenakan Eyang Djoego tidak menikah sehingga tidak memiliki keturunan biologis.
Selepas wafatnya Eyang Djoego, Eyang RM Imam Soedjono melaksanakan wasiat gurunya untuk memakamkan sang guru di lereng Gunung Kawi. Seusai memakamkan Eyang Djoego, RM Imam Soedjono memilih bertempat tinggal di lereng Gunung Kawi. Serta menjadi juru kunci makam Eyang Djoego yang pertama.
Daya Tarik Tak Hanya Dari Makam
Sebagai kompleks wisata, daya tarik Pesarean Gunung Kawi tidak hanya terletak pada kedua makam tokoh tersebut. Sejak awal memasuki kompleks Pesarean Gunung Kawi, pengunjung yang akan disambut dengan kompleks pertokoan yang dibangun dengan gaya arsitektur Tiongkok.
Selain karena di kompleks Pesarean Gunung Kawi terdapat Klenteng Dewi Kwan I’m beserta stand Ciamsi, hal ini juga menjadi simbol kerukunan dan persatuan dari etnis yang berbeda. Pengunjung yang baru pertama berkunjung pun, dapat bertanya seputar Pesarean Gunung Kawi di pusat informasi pesarean yang terletak tepat di sebelah bangunan Ciamsi.
Menariknya, Pesarean Gunung Kawi memiliki tiga gerbang yang disebut gerbang Regol. Gerbang Regol memiliki relief berbeda di setiap gerbangnya. Relief di gerbang pertama menceritakan kisah awal perjuangan Eyang Djoego.
Kisah pada relief terus berlanjut hingga gerbang ketiga yang menceritakan saat Eyang Djoego meninggal lalu dimakamkan di Pesarean Gunung Kawi hingga potret Pesarean Gunung Kawi Modern. Gerbang ketiga juga merupakan gerbang terakhir sebelum pengunjung memasuki kawasan makam Eyang Djoego dan makam Eyang Soedjono.
Setelah pengunjung melewati kompleks pertokoan ala Pecinan, di sebelah kanan terdapat Masjid Agung RM Imam Soedjono. Masjid ini pun kini menjadi pusat peribadatan bagi umat Islam.
“Sebelumnya kegiatan ibadah umat muslim bertempat di Masjid Eyang Djoego, namun karena tidak cukup menampung, maka dibangunlah Masjid Agung RM Imam Soedjono,” jelas Putri, Humas Pesarean Gunung Kawi.
Di seberang Masjid Agung RM Imam Soedjono, berdiri Gedung Ngesti Budoyo yang digunakan untuk mementaskan pagelaran wayang. Tak jauh dari situ, dalam jarak sekitar 300 meter, berdiri Klenteng Dewi Kwan I’m yang juga aktif digunakan oleh umat Tionghoa untuk beribadah.
Suasana Nyaman untuk Memanjatkan Doa
Suasana pesarean yang tenang, serta jauh dari hiruk pikuk perkotaan memberikan suasana yang sangat nyaman untuk berdoa. Sehingga banyak menarik minat pengunjung untuk berziarah maupun mendekatkan diri kepada Tuhan.
“Pengunjung ke pendopo selain berdoa juga selamatan untuk melaksanakan tradisi,” kata Putri.
Dalam kawasan makam terdapat dua titik menarik, pertama pohon dewandaru yang konon ditanam oleh Eyang RM Imam Soedjono. Sebagai guru, RM Imam Soedjono pernah berpesan bila memiliki hajat maka tunggulah buah dari pohon dewandaru jatuh. Namun sayangnya, hal ini sering diartikan secara harfiah.
“Padahal ucapan tersebut sebenarnya kiasan yang bermakna, agar seseorang bersabar atas hajat keinginannya,” tukas Putri.
Titik selanjutnya ialah sebuah guci yang dikatakan sebagai peninggalan Eyang Djoego. Berdasarkan catatan hidup Eyang Djoego, saat ia tiba di Desa Jugo, terdapat pagebluk yang tengah menyelimuti desa Jugo. Lalu Eyang Djoego mengobati warga Desa Jugo dengan menggunakan air yang ditampung di dua guci.
Berdasarkan keyakinan, Eyang Djoego telah mendoakan guci-guci tersebut. Setelah meninggalnya Eyang Djoego, satu guci ditinggalkan di padepokan Eyang Djoego di Blitar dan satunya dibawa ke Pesarean Gunung Kawi. Banyak pengunjung yang percaya khasiat air dari guci tersebut sehingga terkadang dibawa pulang.
Begitu pun dengan kompleks Pesarean Gunung Kawi, yang sering kali diidentikkan dengan ritual pesugihan. Sehingga terdapat pengunjung yang memiliki niat berbeda dari seharusnya.
Padahal, rezeki seseorang telah diatur oleh Tuhan. Sedangkan makam hanyalah tempat seseorang dimakamkan, sehingga niatan yang seharusnya hanyalah berziarah dan mendoakan si ahli kubur Baca berita selengkapnya di Tabloid Inspirasi Pendidikan