Beberapa waktu yang lalu, terjadi banjir beberapa daerah Jawa Timur. Bahkan terdapat daerah yang sebelumnya tidak pernah terjadi banjir, justru mengalami banjir. Seperti di wilayah Malang Selatan, wilayah tersebut merupakan area perbukitan dan banyak tebing, sehingga sangat mengejutkan ketika terjadi.
Meskipun dikatakan jika penyebab banjir adalah curah hujan yang tinggi dan air laut pasang sehingga sungai tidak bisa memuat debit air yang tinggi, tapi harus diingat jika medannya berupa perbukitan dan banyak tebing, seharusnya air dapat meresap ke area perbukitan.
Namun nyatanya air justru tidak dapat tertampung sehingga air terus menggenang dan menjadi banjir. Jika menggunakan sudut pandang manusia, maka kita akan menganggap peristiwa ini sebagai bencana alam. Karena memang menjadi bencana bagi manusia yang hidup di tempat tersebut. Tanpa bermaksud tidak berempati pada permasalahan yang terjadi, penulis mencoba melihat kejadian ini dari sudut pandang lain.
Dari sudut pandang bumi, hal ini dapat dikatakan sebagai upaya bumi memperbaiki dirinya. Perbaikan diri tidak hanya terjadi di Jawa Timur, namun juga banyak tempat.
Jika pembaca masih ingat, pada tiga bulan pertama di tahun ini, Australia mengalami banjir bandang yang dikatakan sebagai banjir terbesar dalam 50 tahun. Tidak hanya itu, berbagai bencana alam lain juga terjadi di banyak tempat.
Secara sederhana, manusia akan mengaitkan ini dengan perubahan iklim yang disebabkan eksploitasi berlebihan terhadap bumi. Seperti penebangan berlebihan, penangkapan ikan berlebihan, penggunaan bahan bakar tidak ramah lingkungan dan beragam penyebab lainnya. Sehingga dikatakan bumi telah rusak.
Baca Juga :
Dosa Struktural Tragedi Kanjuruhan
Sejarah Kelam Tragedi Sepak Bola Dunia
Hibur Korban Banjir, Spiderman Salurkan Bantuan di Desa Sitiarjo
Social Movement, Gotong Royong Pulihkan Lahan Pertanian Dampak Banjir
Akan tetapi benarkah? Apakah memang demikian atau sebenarnya ini hal yang normal? Sejarah mencatat, bumi telah berkali-kali mengalami perubahan iklim besar. Mulai dari menjadi tempat dengan suhu yang sangat panas hingga tidak memungkinkan adanya kehidupan, menjadi tempat yang sangat dingin, bahkan hingga menjadi kondisi ideal untuk berkembangnya organisme makhluk hidup.
Meski begitu, sejarah mencatat jika makhluk hidup di bumi juga pernah mengalami masa-masa dingin yang biasa disebut zaman es. Sehingga manusia tetap dapat melanjutkan hidupnya seperti biasa, tidak perlu mengkhawatirkan bumi! Bumi tetap akan melanjutkan proses alamiahnya, bumi hanya akan menyisihkan mereka yang tidak dapat bertahan.
Bukankah kita sudah melihat kepunahan mammoth, burung dodo, badak hitam, dan lain sebagainya. Mereka punah karena tidak dapat menyesuaikan dengan alam, maupun tidak dapat bertahan dari pemangsa puncak di bumi (manusia). Bahkan hiu yang selama ini ditakuti manusia, ternyata tidak begitu mematikan seperti di film.
Sebuah film dokumenter berjudul Seaspiracy yang rilis tahun 2021 di Netflix, menunjukkan jika setiap tahunnya hiu rata-rata membunuh hanya 10 orang. Namun manusia berhasil membunuh hingga 11.000-30.000 hiu per jam! Data ini berasal dari Marine Policy volume 40.
Hal ini belum termasuk memperhitungkan jumlah paus yang diburu setiap tahunnya, bahkan aktivitas pembantaian lumba-lumba di teluk Taiji Jepang. Karena lumba-lumba itu hama, mereka terlalu banyak memakan tuna yang menjadi favorit masyarakat setempat.
Padahal Blue Fin Tuna (yang merupakan ikan termahal saat ini) jumlahnya sudah sangat menurun, tentu kita harus menyisihkan hama yang ada. Sama halnya ketika kita membasmi tikus karena terlalu banyak memakan tanaman yang menjadi sumber pangan kita.
Sehingga sebagai top predator kita hanya melaksanakan seleksi alam, yakni menyisihkan mereka yang tidak dapat bertahan dengan perubahan yang terjadi karena itulah esensi dari seleksi alam. Alam akan menyeleksi mereka yang tidak dapat bertahan dengan perubahan kondisi bumi. Namun pertanyaannya, saat bumi memperbaiki dirinya, apakah umat manusia akan dapat bertahan? (Satrya).