Awal mula sejarah pers di Indonesia telah dimulai pada masa pemerintah Hindia-Belanda. Dilansir dari detik.com, penerbitan surat kabar pertama di Indonesia terjadi pada 7 Agustus 1744.
Saat itu sedang berada di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Williem Baron Van Imhoff yang menerbitkan surat kabar “Bataviasche Nouvelles”. Kemudian pada tahun 1821, saat Inggris menguasai Hindia Timur, terbit surat kabar berbahasa Inggris bernama “Bataviasche Courant” yang berubah nama menjadi “Javasche Courant”.
Pada abad ke-19, sederetan surat kabar berbahasa Melayu muncul di berbagai wilayah Indonesia, walaupun redakturnya masih orang-orang Belanda. Surat kabar yang terbit seperti “Bintang Timoer” (Surabaya, 1850), “Bromartani” (Surakarta, 1855), “Bianglala” (Batavia, 1867), dan “Berita Betawie” (Batavia, 1874).
Baru pada tahun 1907, terbitlah Surat Kabar di Bandung bernama “Medan Prijaji”. Hal tersebut dianggap sebagai pelopor pers nasional karena penerbitannya dilakukan oleh pengusaha pribumi bernama Tirto Adhi Soerojo.
Baca Juga :
Sinau Literasi, Wadah Tingkatkan Kemampuan Menulis
Sejarah Singkat Penemuan Huruf Alfabet
Kemudian bermunculan tokoh-tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan melalui surat kabar. Salah satunya adalah Siti Ruhana atau yang akrab dikenal sebagai Roehana Koeddoes. Ia merupakan salah satu tokoh perempuan yang ikut memperjuangkan emansipasi wanita dan melawan penjajahan Belanda.
Perempuan yang berasal dari Kota Padang kelahiran 20 Desember 1884 ini, memiliki ayah bernama Moehammad Rasjad dan ibunya bernama Kiam. Sang Ayah pada masa penjajahan Belanda bekerja sebagai juru tulis dan diangkat menjadi hofd djaksa pegawai pemerintahan kolonial Belanda (Fitriyani, 2013).
Roehana kecil tidak mendapatkan pendidikan secara formal, namun wawasan pemikiran yang luas diperoleh dari kegemarannya membaca buku, ayahnya selalu membawa bahan bacaan dari kantor untuk mendukung dan menggali lebih luas pengetahuannya (Djaja, 1980).
Roehana menjadi sosok wanita Minangkabau yang memiliki keinginan untuk meningkatkan derajat perempuan. Keinginan dan tekad kuat Roehana untuk memajukan kaumnya dalam dunia pendidikan dapat terwujud setelah dibangunnya Kerajinan Amai Satia pada tanggal 11 Februari 1911.
Kerajinan Amai Satia merupakan sekolah pertama untuk kaum perempuan di Koto Gadang. Tujuan dari sekolah ini sendiri adalah untuk memajukan perempuan di Koto Gadang dalam berbagai aspek kehidupan dalam rangka mencapai kemuliaan seluruh bangsa (Fitriyani, 2013) Baca konten selengkapnya di Tabloid Inspirasi Pendidikan