Pembahasan dalam buku ini terbagi menjadi tiga bagian pokok. Pertama, Islam dalam perang kemerdekaan Indonesia. Kedua, Islam dalam revolusi politik Indonesia. Dan ketiga, pembahasan yang seakan-akan menjadi bagian dari revolusi politik, tetapi memiliki banyak ciri khas dari partisipasi Muslim dalam perang kemerdekaan di tingkat akar rumput, seperti perjuangan aktivis Muslim Indonesia di Timur Tengah.
Baca Juga:
Angkat Tangan agar Tuhan Turun Tangan, Oleh: Moh. Mahrus Hasan
Menggelar Ikhtiar dan Mengukir Takdir, Oleh: Mohammad Adzdzin Khoir (Murid MANPK MAN 1 Jember)
Di masa awal revolusi Islam di Indonesia, ulama atau pemimpin agama Islam menjadi pemimpin perjuangan kemerdekaan. Mereka sangat disegani dan dihormati oleh umat Islam, sehingga seruan dan perintah mereka untuk berjuang menjadi rujukan untuk dilaksanakan tanpa keraguan. Majelis-majelis keilmuan yang mereka bina menjadi sarana yang efektif untuk menjelaskan pentingnya perjuangan meraih kemerdekaan.
Para alim-ulama itu mengobarkan semangat kemerkdekaan dengan fatwa atau instruksi agamawan. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengelurakan fatwa September-Oktober 1945. Demikian pula dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh organisasi Muslim lainnya, seperti fatwa-fatwa Aceh dan manifesto revolusi Islam “Toentoenan Perang Sabil” M. Arsyad Thalib Lubis. Selain itu, semangat juang untuk merdeka juga dikokohkan oleh retorika jihad serta slogan-slogan populer-heroik pengobar semangat, seperti “Allahu Akbar!”, “Isy Kariman Au Mut Syahidan”, “Merdeka Atau Mati”, dan “Republik, Agama, dan Tanah Air”.
Para ulama juga membentuk lasykar-lasykar (militer) pejuang lokal, seperti Sabilillah dan Hizbullah. Mereka menggunakan disiplin militer untuk menumbuhkan kesalehan, serta menjalin peran agama dan militer secara erat, Keterlibatan para ulama dalam kepemimpinan militer lokal sangat menentukan pembentukan karakter kesatuan tempur dan mental juang anggota lasykar. Para lasykar itu berjuang mengikuti tuntunan dan arahan para ulama. Terlebih, mereka meyakini imbalan spiritual tertinggi dari jihad fi sabilillah (berperang di jalan Allah).
Pada perkembangan selanjutnya, perjuangan umat Islam berjuang melalui organisasi massa. Sejatinya, organisasi-organisasi massa Islam sudah marak sejak tahun 1910-an, berkembang pada tahun 1920-an, dan mulai terpecah-pecah pada tahun 1930-an. Penyebaran pengaruh organisasi-organisasi Islam bergaya modern—yang anggotanya hingga ke kota-kota kecil dan pelosok—itu menjadi saluran untuk mobilisasi menuju upaya revolusi.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu pada era pasca kemerdekaan, mulai ada kelompok sempalannya—yang sebagian kalangan menyebut—memberontak terhadap pemerintah, yakni DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Baca konten selengkapnya versi cetak di Tabloid Inspirasi Pendidikan Edisi 127