Novel ini menceritakan pengorbanan seorang gadis bernama Hilya, yang mengikhlaskan cintanya untuk adik kembarnya, Hulya, karena ada kekeliruan saat lamaran. Betapa sulitnya ketika Hilya dihadapkan pada dua pilihan. Yang pertama, cinta kepada sang kekasih dan yang kedua, tidak ingin melukai adik dan keluarga. Keduanya adalah pilihan yang berat dan kemungkinan besar kita juga tidak mau dihadapkan dengan persoalan seperti ini.
Dan Hilya memilih untuk mengorbakan perasaan cintanya demi adiknya tanpa menceritakan yang sebenarnya kepada keluarganya, “Jiwaku tangguh hingga kau memilih diam, meski dalam diammu tersayat luka yang dalam”. (hal. 22). Diam adalah sebuah pilihan jika kita tidak ingin menyakiti siapapun mending diri sendiri yang tersakiti daripada harus menyakiti orang lain.
Karena kesalahpahaman itu, tidak hanya Hilya yang terluka, tetapi juga Akbar. Namun, Akbar bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa karena kesalahan uminya saat melamar dan menghargai keputusan Hilya untuk tidak ingin menyakiti keluarganya. Akbar hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri atas kesalahan dalam melamar karena Akbar tidak tahu kalau Hilya mempunyai saudara kembar. Disadarinya bahwa kesalahan satu hurufpun dapat memyebabkan luka bagi dirinya dan Hilya.
Baca Juga : Resensi Cahaya Cinta Pesantren, Oleh: Muhammad Hafizh Paramaputra
Akbar hanya bisa menuangkan perasaan nya di sepertiga malam dengan sholat tahajjud dan menulis sebuah novel yang berjudul “Rembulan Tanpa Malam” yang berkisah Akbar, Hilya dan Hulya. Penulis menggambarkan, “Hanya dalam diam aku bisa memanggil namamu. Purnama yang hilang karena cahaya kabut hitam yang aku buat. Terakhir kalinya aku memanggilmu Hilya sebelum aku memanggilmu ning Hilya. Maafkan aku yang melukis luka teramat dalam untukmu. Akbar zamzuri”. (hal. 26).
Membaca luapan-luapan emosi yang ada di novel ini, rasanya novel ini terinspirasi dari kisah nyata penulis. Atau orang terdekat penulis. Penulis mengungkapkan, “Bukan kehilangan yang membuatku sakit, ataupun takdir yang tidak berpihak. Ingin aku sampaikan laraku melalui aksara. Karena kamu tak bisa aku gapai. Apa yang lebih menyakitkan dari rasa kehilangan, saat melihat dia dari dekat.
Namun, terdapat dinding yang megah sebagai pemisah”. (hal. 34). Ternyata benar, ketika kita tidak bisa menyampaikan perasaan kita atau tidak ada orang untuk curhat, maka menyampaikan perasaan dengan aksara adalah pilihan yang terbaik untuk sedikit meringankan beban yang ada di pikiran.
Baca Juga : Fatimah Az-Zahra Yang Bersahaja, Oleh : Atikatul Horiyah
Kita dapat mengambil hikmah bahwa seindah apapun recana manusia akan tetap berada dalam rencana Allah yang telah disiapkan untuk kita, karena sebaik-baiknya rencana adalah rencana Allah. Tidak ada yang dapat merubah takdir Allah tentang jodoh karena jodoh kita telah dituliskan di lauful mahfudz sebelum kita dilahirkan ke bumi ini.
Mau kita mengerjanya dengan cara apapun kalau bukan jodoh tidak akan pernah menyatu tapi bagaimana pun jauhnya jarak kita dengan jodoh kita jika sudah ditakdirkan untuk berjodoh pasti akan ada jalannya sendiri. Sebagai manusia kita hanya perlu menerima takdir dan berdoa kepada Allah untuk selalu di berikan yang terbaik.
Pasrahkan semua urusan kita kepada Allah ketika kita ikhtiar maka apa yang kita impikan akan menemukakan jalannya. Penulis menguatkan perihal ini,“Lihatlah ketika takdir yang berkuasa, yang mustahil menjadi nyata. Cinta akan bersatu tepat pada waktunya, pada hari dan suasana yang direncanakan indah oleh semesta. Dalam dekapan sebuah takdir yang indah, meski melalui jalan yang terjal. Bebatuan hingga jurang pengorbanan, kini telah terbayar lunas sakitmu. Dengan air mata bahagia”. (hal. 164).
Baca Juga : Lulu Lazimatul Khoiriyah Belajar Ikhlas dan Mengatur Waktu
Ketika kita ikhlas dengan semua yang ujian dan cobaan pada hidup kita pasti akan ada kemudahan setlah kesulitan itu adalah janji Allah.
Novel ini mempunyai alur cerita yang menarik—meski alur cerita yang maju mudur tentu agak sedikit membuat bingung pembaca—dan gaya bahasa yang bagus sehingga sangat dinikmati oleh pembaca. Dan juga mengajarkan kita tentang keikhlasan yang berbuah manis di kemudian hari.