Setiap muslim pasti mengenal nama Fatimah Az-Zahra, putri tercinta Rasulullah. Tetapi, tidak semua muslim mengetahui secara lengkap sejarah Fatimah yang bergelar Al-Batul itu. Fatimah lahir pada tahun kelima hijriah sebelum Nabi diutus sebagai rasul. Saat berusia lima tahun ia menyaksikan bagaimana ayahnya menghadapi gelombang-gelombang kemusyrikan tetapi ia tidak gentar terhadap apa yang terjadi.
Tidak ada keraguan yang mempu menggoyahkan keyakinan pada seruan ayahnya. Dari tahun ke tahun ia mengikuti Rasulullah yang mengalami berbagai tekanan dan ujian yang berat di Mekkah. Dan saat berusia enam belas tahun, ia harus menghadapi cobaan yang menyakitkan hatinya, yaitu wafatnya sang ibunda tercinta, Khadijah Binti Khuwailid, seorang yang paling dahulu masuk Islam, pada tahun kesepuluh diutusnya Nabi sebagai rasul.
Baca Juga : Peran Pendidikan dalam Islamisasi Nusantara oleh Femiliana Hakim
Kurang dari dua bulan pasca perang badar, ada berita baik yang dibawa seorang pemuda yang berkerabat sangat dekat dengan Rasulullah, Ali Bin Abu Thalib, yang datang untuk melamar putri Rasulullah yang mulia. Jawaban Nabi sesuai harapan. Pernikahan yang diberkahi berlangsung pada bulan Zulqa’dah tahun ketiga hijriah. Maskawin yang mudah, upacara pemboyongan mempelai wanita yang sederhana, dan minimnnya kesenangan duniawi karena syarat utama pemuda yang ingin melamar adalah memiliki agama yang kuat serta akhlak yang luhur.
Banyak sahabat Rasulullah yang melamar Fatimah seperti Abu Bakar dan Umar Bin Khattab, namun Fatimah lebih memilih Ali, pemuda miskin yang ia cintai. Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, dari seorang wanita yang ikut rombongan kaum wanita yang mengantarkan Fatimah kepada Ali, ia berkata, ”Fatimah diberi hadiah dua lembar kain corak yang terdapat dua kaki dari perak yang dipoles warna kuning dengan zakfaran, kami memasuki rumah ali, dan disana ada alas terbuat dari kulit kambing yang disamak dan digelar disebuah bangku panjang, sebuah bantal berisi serabut kurma, sebuah kantong air, sebuah ayakan, selembar handuk dan beberapa gelas”.
Baca Juga : Bangunan Bak Istana, Masjid Tiban Turen Wisata Religi Penuh Kisah Mistis
Betapa sederhananya kehidupan keluarga seseorang yang sangat mulia itu. Mereka tidak pernah mengejar kenikmatan dunia, karena mereka yakin akan kenikmatan di akhirat yang Allah janjikan.
Fatimah berbeda dengan ketiga saudara perempuannya yang beruntung bisa tinggal dalam rumah tangga yang kaya akan materi dan kemudahan dunia. Adik Fatimah yang bernama Zainab menikah dengan Abdul Ash Bin Ar-Rabi’, seorang hartawan Makkah dan pedagang Quraisy. Adiknya yang lain, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, secara bergantian menjadi istri Usman Bin Affan, orang kaya yang banyak harta.
Fatimah dianugerahi tiga anak laki-laki yakni Hasan, Husain, sera Muhsin, dan dua anak perempuan yakni Ummu Kultsum dan Zainab. Fatimah dan suami adalah sepasang suami istri yang ridha dengan kehidupan ini, dan berlaku zuhud terhadap kesenangannya.
Betapa sederhananya kehidupan rasul dan putrinya itu. Pernah Rasulullah merasa sangat lapar dan berkeliling ke tempat tinggal istri-istrinya, namun beliau tidak mendapati makanan pada salah seorang mereka.
Baca Juga : HSN Jadi Momentum Santri untuk Tumbuh dan Berkarya
Beliau lalu menemui Fatimah dan bertanya,”Wahai putriku, apakah kamu punya makanan yang bisa aku makan? Sungguh aku lapar sekali”. Fatimah menjawab,”Demi Allah, tidak ada”. Ketika Rasulullah sudah pulang, tiba-tiba Fatimah menerima dua potong roti dan sepotong daging dari tetangganya. Fatimah menerima kiriman itu lalu meletakkannya di sebuah mangkok dan ia tutup. Ia berkata,” Demi Allah, makanan ini aku prioritaskan untuk rasulullah daripada diriku dan keluargaku”.
Padahal mereka juga butuh menyantap makanan itu. Bergetar hati ini setiap mendengar kisah hidup Nabi kekasih Allah dan putrinya, Fatimah, yang sangat sederhana. Padahal, andai Rasulullah meminta kemewahan dunia, maka bukan hal yang sulit untuk mendapatkannya. Namun Rasulullah lebih memilih hidup sederhana dan memberikan semua hartanya untuk kepentingan Islam.
Baca Juga : Wacana Kosmopolitan Pendidikan Islam Nusantara
Dalam buku ini, Abdul Sattar Asy-Syaikh tidak hanya menceritakan kehidupan Fatimah namun juga menjelaskan tentang hadis maudhu’ yang berkenaan dengannya, dan juga menuliskan setiap tahapan kehidupannya bersama keluarganya (Ali, Hasan, dan Husain). Penjelasan tentang hadis-hadis itu untuk memilah tumpukan-tumpukan cerita yang keliru dan diada-adakan yang sumbernya tidak jelas dan sulit dinalar.
Dengan demikian, melalui buku ini, semoga kita bisa membedakan mana hadis alsli dan hadis keliru yang diriwayatkan dalam cerita-cerita naif tentang Fatimah, karena itu akan menyebabkan fitnah yang sangat besar dan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.